Tha.Sha.My.Win.Pit

rss

Kamis, 08 April 2010

Gabriel Marcel

              Gabriel Marcel – seorang filsuf Perancis (1889-1973) sangat cermat memberikan gambaran tentang hubungan sosial AKU dan ENGKAU yang penuh arti.  Gabriel Marcel (1889-1973). Bukunya yang bersifat eksistensialis Exsistence et Obyektivite (1924). Dalam filsafatnya ia menyatakan, bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia memiliki kebebasan yang bersifat otonom. Ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh kejasmaniannya. Dari luar ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam ia dikuasai oleh jasmaninya.
              Manusia bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses). Ia selalu menghadapi obyek yang harus diusahakan seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain. Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara “berada” dan “tidak berada”. Maka manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada kematian. Tapi sebesarnya kemenangan kematian hanyalah semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan guna mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetiaan ada kepastian, bahwa ada engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menembus kematian. Adanya harapan menunjukkan, bahwa kemenangan kematian adalah semu. Ajaran tentang harapan ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjuk adanya “Engkau Yang Tertinggi” (Toi Supreme), yang tidak dapat dijadikan obyek manusia.

Apa itu kehadiran?
              Kehadiran menjadi sebuah peristiwa bermakna di kala tak ada lagi jarak antara AKU dengan ENGKAU. Hadir tidak berarti harus selalu secara objektif dalam lingkup ruang dan waktu yang sama. Bisa terjadi saya berada di dalam ruang dan waktu yang sama, namun tidak berarti saya “hadir” di situ. Kehadiran saya belum tentu dirasakan dan berarti bagi orang lain. Begitu pula sebaliknya. Mungkin bisa terjadi ada komunikasi (satu memancarkan—yang lain menerima, seperti radio). Namun tidak ada kontak.Kehadiran baru bisa dirasakan bila AKU berjumpa dengan ENGKAU. Dalam relasi AKU dan ENGKAU terkandung makna sesama. Persona dengan persona. Individu dengan individu. Kehadiran ini dapat diwujudkan, meski dalam ruang dan waktu yang berbeda. Secara istimewa kehadiran terealisasi konkrit dalam makna cinta. AKU dan ENGKAU mencapai level KITA. Keberadaan AKU bukan berdiri sendiri secara terpisah, demikian pula ENGKAU. Level AKU dan ENGKAU adalah satu kesatuan bagian tak terpisahkan. Dalam istilah filsafat antara AKU dan ENGKAU mewujud dalam satu kesatuan secara ontologis menjadi KITA. Sebuah kehadiran dalam bentuknya yang sempurna melebihi eksistensi memasuki strata “Ada.” Mencintai selalu mengandung keinginan (permohonan) kepada sesama. Di dalam cinta AKU memohon kepada ENGKAU dan ENGKAU kepada AKU. Jadi dari kedua belah pihak harus ada kebersediaan. Baik untuk mendengarkan maupun menjawab. Ada posisi setara saling menghormati. AKU harus mau keluar dari egoisme dan membuka diri terhadap kehadiran ENGKAU. Begitu pula sebaliknya. Kehadiran dalam konteks hubungan AKU dan ENGKAU yang terwujud dalam cinta, jika dipahami secara benar akan membawa kepada kesetiaan abadi. Kematian pun tidak berarti akan menghilangkan salah satu. Ikatan kesetiaan yang telah mewujud dalam KITA tidak berarti meniadakan AKU atau ENGKAU, meski maut menjemput. Kehadiran berlangsung terus-menerus melampaui ruang dan waktu.

Jadi, apa yang bisa melukai makna kehadiran?
              Kembali kepada egoisme masing-masing amat menodai arti kehadiran—cinta atau makna KITA. Itu juga berarti kembali kepada AKU dan DIA (bahwa orang lain di luar kita adalah objek dan bukan subjek) bukan AKU dan ENGKAU.
           Dalam kehidupan sehari-hari yang kita alami, di rumah, di kantor, atau dalam kehidupan sosial masyarakat, kita bisa merasakan–apakah kehadiran kita sudah efektif atau belum. Sudah me-manusia-kan manusia ataukah meng-objek-an manusia? Secara jujur, masing-masing diri kita bisa mengukur. Apakah kita sebagai penonton, pengamat, komentator, atau pemain. Ketika jarak mulai membentang, meski hanya serambut, kehadiran—AKU dan ENGKAU—belumlah menjadi KITA. A friend in need is a friend indeed. Teman sejati adalah teman yang selalu hadir di saat kita sedang dalam kesusahan.

Komunikasi
Gabriel Marcel mengartikan komunikasi dalam arti cinta. Komunikasi adalah cinta. Cinta adalah komunikasi. Komunikasi tak pernah hadir tanpa ada cinta. Dan begitu juga sebaliknya.

Rabu, 07 April 2010

kelompok kami yang ^CERIA^



Kelompok kami terdiri dari :

  • Apit Ramdani (10050007035)
  • Siti Silmi SInar Kencanawati (10050007040)
  • Shandyca maulidya Faraswati (10050007045)
  • Vita latifah (10050007046)
  • Switenia Silviani (10050007050)

Blog ini di buat untuk tugas mata kuliah "Analisis Eksistensialisme"
semoga blog ini bermanfaat untuk semuanya yah....... ^_________^ 

Senin, 05 April 2010

What is Psychology of Existential?

DEFINISI KEPRIBADIAN DARI PSIKOLOGI EKSISTENSI


TEORI
Psikologi Eksistensial tidak memiliki pendiri aliran tunggal. Akan tetapi, Psikologi Eksistensial memiliki akar pada hasil kerja beraneka ragam kelompok filsuf dari paruh kedua abad XIX, khususnya Soren Kierkegaard dan Frederich Nietzsche.
Kierkegaard dan Nietzsche memiliki ketertarikan yang berbeda. Kierkegaard tertarik untuk mengembalikan kedalaman keyakinan mengalahkan religi yang kering di kota Copenhagen waktu itu; Nietzsche, di sisi lain, terkenal karena ungkapannya “God is dead!” Walaupun demikian, mereka lebih cenderung berbeda dari filsuf-filsuf pendahulu mereka dibandingkan perbedaan di antara mereka sendiri. Keduanya melakukan pendekatan filsafat dari sudut pandang orang yang nyata, yang terlibat dalam kesulitan-kesulitan kehidupan nyata. Keduanya percaya bahwa eksistensi manusia tidak dapat ditangkap dalam sistem rasionalyang kompleks, agama, atau filsafat. Keduanya lebih mendekati disebut sastrawan dibandingkan ahli logika.
Sejak Kierkegaard, Nietzsche dan beberapa filsuf lain, psikolog baru-baru ini mencoba untuk memperjelas, memperluas, dan mempromosikan ide-ide eksistensialisme. Mereka berusaha melawan arus filsafatyang mengedepankan logika, rasionalitas, dan sistematis, dan melawan arus psikologi yang direduksi menjadi fisiologi dan perilaku.

DEFINISI
a.Definisi Psikologi Eksistensial
Eksistensial adalah sebuah aliran yang menolak untuk memandang manusia sebagai hasil dari reduksi berdasar pandangan ilmu pengetahuan alam, yaitu semua perilaku didasarkan pada hukum causa prima. Eksistensialis menilai bahwa manusia tidak dapat dijelaskan dengan kompleksitas sistem-sistem rasional. Psikologi eksistensial tidak mengkonsepsikan tingkah laku sebagai akibatdari perangsang dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Konsep eksistensial perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang menjadi. Eksistensi tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam proses menjadi sesuatuyang baru, mengatasi diri sendiri. Tujuannya adalah untuk menjadi manusia sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan dalam kehidupannya.
b.Kepribadian Secara Eksistensial
Kepribadian adalah cara manusia menuju individu yang Menjadi, individu yang bisa menentukan siapa, menjadi apa, dan bagaimana menjadi dirinya yang mampu mempergunakan potensinya dengan maksimal.
PRINSIP DASAR
1. Eksistensi manusia adalah suatu proses yang dinamis, suatu “menjadi” atau “mengada”. Hal ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri yakni existence yang artinya “ke luar dari” atau “ mengatasi” dirinya sendiri. Jadi eksistensi bersifat lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran tergantung padindividu dalam mengaktualisasi poensinya.

2. Eksistensi adalah pemberian makna. Hal ini sesuai dengan hakekat kesadaran manusia itu sendiri sebagai intensionalitas, yang selalu mengarah keluar dirinya dan melampaui dirinya (Transendensi).

3. Eksistensi adalah ada-dalam-dunia (in-der-welt-sein). Manusia tidak hidup sendiri dan berada dalam diri sendiri, melainkan berada dalam dunianya. Ada-dalam-dunia adalah struktur dasar mengadanya manusia. Kata sambung disini menunjukkan bahwa mengadanya manusia tidak bisa terlepas dan tidak dapat terrealisasi tanpa dunianya. Tidak mungkin manusia dilepaskandari dunianya dan sebaliknya tidak mungkin dunia dilepaskan dari manusia yang mengkonstitusikannya (menciptakan atau memaknainya). Dunia yang dimaksud bukan hanya sebagai lingkungan fisik namun juga dunia pribadi individu tersebut.

4. Manusia hidup dalam Mitwelt, Eigenwelt, dan Umwelt. Beda antara manusia dengan hewan terletak pada kompleksitas manusia, yang hidup bukan hanya dalam Umwelt (dunia fisik) tapi juga dalam Mitwelt (lingkungan manusia) dan Umwelt (lingkungan diri manusia itu sendiri)
  • Umweit (dunia biologis, “lingkungan”)
Dunia objek disekitar kita, dunia natural. Yang termasuk dalam umwelt diantaranya kebutuhan-kebutuhan biologis, dorongan-dorongan, naluri-naluri, yakni dunia yang akan terus ada, tempat dimana kita harus menyesuaikan diri. Akan tetapi umwelt tidak diartikan sebagai “dorongan-dorongan” semata melainkan dihubungkan dengan kesadaran-diri manusia.
  • Mitweit (“dunia bersama”)
Dunia perhubungan antar manusia dengan manusia yang lain. Didalamnya terdapat perhubungan antar berupa interaksi manusiawi yang mengandung makna. Dalam perhubungan tersebut terdapat perasaan-perasaan seperti cinta dan benci yang tidak pernah bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat biologis semata.
  • Eigenwelt (“dunia milik sendiri”)
Adalah kesadaran diri, perhubungan diri dan secara khas hadir dalam diri manusia. Eigenwelt adalah kesadaran-diri, perhubungan diri, dan secara khas hadir alam diri manusia. Selain itu eigenwelt adalah pusat dari perspektif diri dan pusat dari perhubungan diri dengan benda atau orang lain. Tanpa ini kita manusia akan kehilangan kesadaran-dirinya bahwa ”aku-ada” dan keberadaanku itu tidak bisa disangkal. Tanpa kesadaran itu manusia akan kehilangan orientasi dan dengan demikian kehilangan eksistensinya.

5. Eksistensi adalah ”milik pribadi”. Tidak ada dua individu yang identik. Tidak ada pula dua pengalaman yang identik. Oleh sebab itu eksistensi adalah milik pribadi yang keberadaannya tidak tergantikan oleh siapa pun.

6. Eksistensi mendahului esensi. Kalimat terkenal ini dinyatakan oleh Sartre. Kalimat ini bermakna bahwa nasib dan takdir manusia, struktur hidup manusia, dan juga konsepsi tentang manusia, adalah dipilih dan ditentukan sendiri oleh manusia. Bahwa eksistensi manusia merupakan produk dari kebebasan manusia itu.

7. Eksistensi adalah tentang ke-otentik-an. Menurut Heiddeger (1962) dan Sartre (1966), eksistensi sebagian besar manusia adalah tidak otentik karena dikuasai oleh kekuatan massa atau oleh pesona benda dan mengabaikan hati nurani. Kebalikannya, eksistensiyang otentik adalah eksistensi yang setiap perilakunya berasal dari hati nurani dan pilihan bebasnya sendiri.

link :
http://one.indoskripsi.com/node/3385

Existential Analysis

Psychiatric phenomenologists and existential analysts are psychiatrists utilizing certain new philosophical concepts as tools for psychiatric investigation. The meaning and purpose of these new approaches are discussed. The impetus for phenomenology was the growing awareness of certain psychiatrists that the classical psychological frame of reference, inherited from the eighteenth century, was no longer adequate for the exploration of many psychopathological conditions. Phenomenologists believe that they have found a new approach, which enables them to grasp the subjective experience of the patient more fully than could be done within the older, classical frame of reference. The impetus for existential analysis was the same as for psychiatric phenomenology. It occurred to several psychiatrists, who had started to work with the phenomenological method, that existentialist philosophy (above all Heidegger's philosophy) was able to provide them with a frame of reference that was broader than that of phenomenology. Existential analysis does not supersede phenomenology; it integrates phenomenology as a part of its total system. The main emphasis of psychiatric phenomenology lies, however, on the investigation of the patient's subjective states of consciousness.
Three main methods have been applied to that effect:
  1. Descriptive phenomenology relies entirely on descriptions given by the patients of their subjective experiences.
  2. The genetic-structural method postulates a fundamental unity in an individual's state of consciousness and tries to find a common denominator, i.e., a "genetic factor," with the help of which the rest can be made intelligible and reconstructed.
  3. Categorical analysis takes a system of phenomenological coordinates, the most important of which are time (or rather "temporality"), space (or rather "spatiality"), causality, and materiality. The investigator analyzes how each of them is experienced by the patient, in order to achieve, on this basis, a thorough and detailed reconstruction of the patient's inner universe of experience.
These methods are examined in some detail. The reconstruction of the inner world of the patient may be an aim in itself for the phenomenologist, but if he is an existential analyst, it is a part of a broader task. The broader task is discussed after the distinction between existentialist philosophy, existentialist psychotherapy and Binswanger's existential analysis is clarified, since there is so much confusion concerning these three areas.
In regard to the implications of existential analysis for psychotherapy, several points must be distinguished:
  1. It should be understood that the activity of an existential analyst does not usually differ seemingly from what the ordinary psychiatrist or psychoanalyst does.
  2. Phenomenology opens the path to a new type of psychotherapy which is still in its early stages of development.
  3. Reconstruction of the subjective world of a patient is more than an academic exercise.

Written by:
Ellenberger, Henri F.


Link: http://psycnet.apa.org/index.cfm?fa=main.doiLanding&uid=2006-20816-003

Psikologi Analisis Eksistensialisme

Pendahuluan Mengenai Psikologi Analisis Eksistensialisme
Tokoh psikologi eksistensial yang terkenal adalah Ludwig Binswanger (1881) dan Medard Boss (1903). Psikologi eksistensial menolak konsep tentang kausalitas, dualisme antara jiwa dan badan, serta pemisahan orang dari lingkungannya.
Psikologi eksistensial tidak mengkonsepsikan perilaku sebagai akibat dari perangsangan dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang individu bukanlah mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang teridir dari insting-insting, kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan. 
"Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, dan hanya ia sendiri yang bertanggungjawab terhadap eksistensinya. Manusia dapat mengatasi baik lingkungan maupun badan fisiknya apabila ia memang memilih begitu. Apa saja yang dilakukannya adalah pilihannya sendiri. Orang sendirilah yang menentukan akan menjadi apa doa dan apa yang akan dilakukannya" (Hall, 1993:192-193).