Maya hidup di lingkungan keluarga yang terlihat sempurna. Ayahnya bekerja di toserba serta ibunya selalu ada untuknya. Semenjak umur 8 tahun ia tinggal sebagai seorang pengungsi bersama sepasang lanjut usia yang tidak mempunyai anak dan tinggal disana selama kurang lebih 6 tahun. Pada umur 14 tahun orang tuanya akhirnya menemukannya dan membawanya kembali ke rumah, namun semuanya tidak lagi sama. Setidaknya ini yang ada di benak orang tua Maya. Maya di mata orang tuanya adalah seorang gadis kecil yang manis dan selalu menjadi kesayangan orang tuanya. Namun apa yang ada dalam diri Maya sekarang sangat berbeda dan sulit untuk diterima.
Maya yang sekarang telah menjadi seorang remaja memang sedang dalam masanya dalam membangun otonominya, belajar untuk memandirikan dirinya serta berpikir dan bertindak atas dirinya sendiri. Hasratnya pun sangat besar untuk belajar, ini menjadikannya sangat pintar di sekolah. Namun hal ini terhambat ketika ia kembali ke keluarga aslinya. ’Saya harus mengerjakan semua hal, apabila tidak saya tidak akan merasa nyata’, begitu pikirnya.
Di mata orang tuanya, Maya telah menjelma menjadi gadis yang keras kepala, pembangkang dan ’sulit’. Perkembangan Maya menuju pendewasaan diri dianggap sebagai sebuah ’keberanian’ oleh orang tuanya. Maya bukanlah lagi seorang gadis yang mendengarkan apa perkataan orang tuanya dan memutuskan untuk menyelesaikan serta melakukan semuanya sendiri atas keinginannya sendiri. Tidak hanya ayah yang melihatnya bekerja terlalu keras, hal ini paling membat gusar ibunya. Ia tidak suka ketika Maya tenggelam dalam buku-bukunya dan merasa bahwa Maya terlalu pintar, ia ingin Maya mau peduli padanya dan menghabiskan waktu dengannya seperti dulu. Namun sekarang Maya lebih suka belajar. Lalu orang tuanya lantas menyimpulkan bahwa Maya ’sakit’, dan memasukkannya ke rumah sakit (mental).
Maya didiagnosis sebagai paranoid schizophrenia. Terkadang ia mendengar ’suara-suara’ yang menyuruhnya untuk berpikir dan bertindak. Suara-suara ini juga kadang membuatnya merasa terpisah dari badannya karena ia melakukan hal-hal yang tidak ingin ia lakukan, yang disebut depersonalisasi. Seringkali inilah yang orang tuanya sebut ’impulsif’. Anehnya Maya masuk rumah sakit atas keinginannya sendiri. ’Ini membantu saya untuk menggunakan pikiran saya sendiri’. Ini memberikan petunjuk bahwa apa yang yang ada dalam pikirannya adalah bahwa ia tidak sakit. di rumah sakit pun Maya dapat berperilaku dengan baik serta mau diajak bekerja sama.
Maya yang sekarang telah menjadi seorang remaja memang sedang dalam masanya dalam membangun otonominya, belajar untuk memandirikan dirinya serta berpikir dan bertindak atas dirinya sendiri. Hasratnya pun sangat besar untuk belajar, ini menjadikannya sangat pintar di sekolah. Namun hal ini terhambat ketika ia kembali ke keluarga aslinya. ’Saya harus mengerjakan semua hal, apabila tidak saya tidak akan merasa nyata’, begitu pikirnya.
Di mata orang tuanya, Maya telah menjelma menjadi gadis yang keras kepala, pembangkang dan ’sulit’. Perkembangan Maya menuju pendewasaan diri dianggap sebagai sebuah ’keberanian’ oleh orang tuanya. Maya bukanlah lagi seorang gadis yang mendengarkan apa perkataan orang tuanya dan memutuskan untuk menyelesaikan serta melakukan semuanya sendiri atas keinginannya sendiri. Tidak hanya ayah yang melihatnya bekerja terlalu keras, hal ini paling membat gusar ibunya. Ia tidak suka ketika Maya tenggelam dalam buku-bukunya dan merasa bahwa Maya terlalu pintar, ia ingin Maya mau peduli padanya dan menghabiskan waktu dengannya seperti dulu. Namun sekarang Maya lebih suka belajar. Lalu orang tuanya lantas menyimpulkan bahwa Maya ’sakit’, dan memasukkannya ke rumah sakit (mental).
Maya didiagnosis sebagai paranoid schizophrenia. Terkadang ia mendengar ’suara-suara’ yang menyuruhnya untuk berpikir dan bertindak. Suara-suara ini juga kadang membuatnya merasa terpisah dari badannya karena ia melakukan hal-hal yang tidak ingin ia lakukan, yang disebut depersonalisasi. Seringkali inilah yang orang tuanya sebut ’impulsif’. Anehnya Maya masuk rumah sakit atas keinginannya sendiri. ’Ini membantu saya untuk menggunakan pikiran saya sendiri’. Ini memberikan petunjuk bahwa apa yang yang ada dalam pikirannya adalah bahwa ia tidak sakit. di rumah sakit pun Maya dapat berperilaku dengan baik serta mau diajak bekerja sama.
Keluarga Abbott mendapat perhatian karena kasusnya yang pelik serta kenyataan-kenyataan yang tersembunyi pada bagaimana masing-masing anggota keluarga ini berinteraksi. Sebagai contoh, paranoid yang dialami oleh Maya sebenarnya dipicu oleh interaksi non-verbal antara kedua orang tuanya sehingga merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi diantara mereka berdua dan objeknya adalah dia, dan itu memang benar. Orang tuanya juga memiliki pemikiran yang menarik dimana mereka menilai bahwa putri mereka memiliki kekuatan semisal telepati yang bisa membaca pikiran mereka, yang ternyata setelah ditelusuri melalui wawancara, ini adalah manifestasi dari rasa terpukul mereka karena Maya tidak lagi ingin membagi pemikiran dan perasaannya kepada mereka karena hendak membangun otonominya sendiri.
Cerita selengkapnya:
Keluarga Abbott
Cerita selengkapnya:
Keluarga Abbott