Tha.Sha.My.Win.Pit

rss

Sabtu, 05 Juni 2010

Keluarga Abbott: Review Kasus

    Maya hidup di lingkungan keluarga yang terlihat sempurna. Ayahnya bekerja di toserba serta ibunya selalu ada untuknya. Semenjak umur 8 tahun ia tinggal sebagai seorang pengungsi bersama sepasang lanjut usia yang tidak mempunyai anak dan tinggal disana selama kurang lebih 6 tahun. Pada umur 14 tahun orang tuanya akhirnya menemukannya dan membawanya kembali ke rumah, namun semuanya tidak lagi sama. Setidaknya ini yang ada di benak orang tua Maya. Maya di mata orang tuanya adalah seorang gadis kecil yang manis dan selalu menjadi kesayangan orang tuanya. Namun apa yang ada dalam diri Maya sekarang sangat berbeda dan sulit untuk diterima.

   Maya yang sekarang telah menjadi seorang remaja memang sedang dalam masanya dalam membangun otonominya, belajar untuk memandirikan dirinya serta berpikir dan bertindak atas dirinya sendiri. Hasratnya pun sangat besar untuk belajar, ini menjadikannya sangat pintar di sekolah. Namun hal ini terhambat ketika ia kembali ke keluarga aslinya. ’Saya harus mengerjakan semua hal, apabila tidak saya tidak akan merasa nyata’, begitu pikirnya.

   Di mata orang tuanya, Maya telah menjelma menjadi gadis yang keras kepala, pembangkang dan ’sulit’. Perkembangan Maya menuju pendewasaan diri dianggap sebagai sebuah ’keberanian’ oleh orang tuanya. Maya bukanlah lagi seorang gadis yang mendengarkan apa perkataan orang tuanya dan memutuskan untuk menyelesaikan serta melakukan semuanya sendiri atas keinginannya sendiri. Tidak hanya ayah yang melihatnya bekerja terlalu keras, hal ini paling membat gusar ibunya. Ia tidak suka ketika Maya tenggelam dalam buku-bukunya dan merasa bahwa Maya terlalu pintar, ia ingin Maya mau peduli padanya dan menghabiskan waktu dengannya seperti dulu. Namun sekarang Maya lebih suka belajar. Lalu orang tuanya lantas menyimpulkan bahwa Maya ’sakit’, dan memasukkannya ke rumah sakit (mental).

   Maya didiagnosis sebagai paranoid schizophrenia. Terkadang ia mendengar ’suara-suara’ yang menyuruhnya untuk berpikir dan bertindak. Suara-suara ini juga kadang membuatnya merasa terpisah dari badannya karena ia melakukan hal-hal yang tidak ingin ia lakukan, yang disebut depersonalisasi. Seringkali inilah yang orang tuanya sebut ’impulsif’. Anehnya Maya masuk rumah sakit atas keinginannya sendiri. ’Ini membantu saya untuk menggunakan pikiran saya sendiri’. Ini memberikan petunjuk bahwa apa yang yang ada dalam pikirannya adalah bahwa ia tidak sakit. di rumah sakit pun Maya dapat berperilaku dengan baik serta mau diajak bekerja sama.

   Keluarga Abbott mendapat perhatian karena kasusnya yang pelik serta kenyataan-kenyataan yang tersembunyi pada bagaimana masing-masing anggota keluarga ini berinteraksi. Sebagai contoh, paranoid yang dialami oleh Maya sebenarnya dipicu oleh interaksi non-verbal antara kedua orang tuanya sehingga merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi diantara mereka berdua dan objeknya adalah dia, dan itu memang benar. Orang tuanya juga memiliki pemikiran yang menarik dimana mereka menilai bahwa putri mereka memiliki kekuatan semisal telepati yang bisa membaca pikiran mereka, yang ternyata setelah ditelusuri melalui wawancara, ini adalah manifestasi dari rasa terpukul mereka karena Maya tidak lagi ingin membagi pemikiran dan perasaannya kepada mereka karena hendak membangun otonominya sendiri.






Cerita selengkapnya:
Keluarga Abbott

Keluarga Abbott: Analisis

    Akar dari permasalahan yang dialami oleh keluarga Abbott adalah kekecewaan. Oleh karena telah terpisah 6 tahun, orang tua Maya telah kehilangan tahun-tahun perkembangan anaknya. Maka ketika mereka kembali tinggal bersama, mereka sulit menerima kenyataan bahwa Maya telah mulai tumbuh dewasa. Orang tuanya masih menganggap Maya seperti anak kecil dan masih mengarahkan apa yang harus Maya lakukan. Ini menyebabkan konflik berat dalam diri Maya. Maya yang pada umurnya sedang membangun otonominya menjadi merasa terkekang dan unreal karena tidak diizinkan untuk melakukan hal-hal secara mandiri. Akibatnya Maya lalu merasa dirinya adalah sebuah mesin yang harus melakukan segala sesuatunya dengan benar meskipun itu bukanlah keinginannya. Maya melihat ini sebagai suatu penyangkalan atas dirinya, merasa bahwa orang tuanya tidak ’melihat’ dirinya sebagai ’seseorang’ yang merupakan ’dirinya apa adanya’. Inilah mengapa ia merasa tidak pernah mendapat kasih sayang yang nyata dan tulus terutama dari ibunya, dan kehilangan perasaannya karena ia merasa lebih baik tidak mempunyai perasaan agar tidak lagi berharap dan merasa sakit.

   Maya hanya ingin mandiri dan memisahkan diri dari orang tuanya. Maya ingin ada sebagai dirinya sendiri dan melakukan semuanya atas keinginannya sendiri. Itulah caranya untuk mengada. Namun ketika ia dilarang untuk melakukannya, ia tidak mampu untuk mengungkapkannya lalumerepressnya dalam-dalam hingga berakumulasi pada titik dimana ia akan meledak (seperti ketika ia ’menyerang’ ibunya) dan menjadi ’impulsif’. Untuk memperparah, orang tuanya seringkali bereksperimen terhadap dirinya dengan komunikasi non-verbal yang terlihat serta menyangkal pemikiran, ingatan, dan tindakan yang Maya pernah lakukan. Sekarang Maya berada dalam kebingungan, ia tidak lagi mampu membedakan mana yang hanya ada dalam pikirannya dan mana yang memang terjadi; ingatan manakah yang benar-benar terjadi atau yang diciptakan; serta tidak tahu lagi siapakah yang dapat dipercaya maupun yang tidak dapat dipercaya. Komunikasi verbal antara orang tuanya membuatnya menjadi paranoid dan berhalusinasi akan apa yang orang lain pikirkan tentangnya. Karena itu Maya mencari tempat berlindungnya sendiri, diantara buku-bukunya, ke dalam 'dunia'-nya.

   Orang tuanya tidak bisa menerima bahwa anaknya mulai dewasa. Mereka tidak bisa menerima mengapa Maya ingin terpisah dengan orang tuanya. Mereka menganggap Maya sakit dan perlu untuk disembuhkan. Bagi mereka, tidak ada yang mengetahui Maya lebih baik daripada mereka sendiri, bahkan Maya sekalipun. Ini yang mereka coba buat Maya mengerti. Sebenarnya yang orang tua Maya sayangi adalah Maya kecil yang manis, penurut, manja, dan sangat bergantung pada mereka. Ia bukanlah Maya, karena ia sedang sakit.

   Sampai kapanpun permasalahan ini tidak akan terselesaikan apabila hanya Maya yang mendapat perawatan karena orang tuanya menyumbangkan aspek terbesar dalam perubaan dalam diri Maya. Orang tuanya harus mendapatkan perawatan agar mereka daat menerima kenyataan dan mengerti apa yang dibutuhkan Maya. Maya memerlukan pengakuan dan kepercayaan. Maya ingin mandiri dan ia ingin keluarganya ada disana untuk mendukungnya, bukan suatu penyangkalan akan keberadaannya.

Analisis Novel "The Curious Incident of The Dog in The Night Time"


The Curious Incident of The Dog in The Night Time
Christopher Boone, serang anak penyandang Sindrom Asperger berumur 15 tahun. Kehidupan baginya adalah sesuatu yang membingungkan karena dunia yang ada dalam pikirannya adalah dunia dimana ia adalah satu-satunya orang yang hidup. Chris lebih suka tinggal di ruangan yang sempit dan gelap sendirian dibandingkan harus ke lapangan yang luas yang penuh sesak dengan orang-orang dan terkadang harus berinteraksi dengan mereka, ini dikarenakan Chris menilai interaksi dengan orang sangat membingungkan walaupun hanya obrolan ringan atau candaan—yang sering kali memiliki arti lebih dari satu. Kata kiasan atau majas menurutnya merupakan hal aneh dan tidak mungkin terjadi, misalnya pohon menari. Chistopher juga tidak dapat mengartikan mimik muka orang yang sedang bicara dengannya karena menurutnya mimik manusia itu mudah sekali berubah yang membuatnya semakin bingung dalam mengartikannya.

Chris merasa manusia itu tidak bisa diperkirakan, bagaimana mereka berpikir dan bagaimana mereka akan bertindak, oleh karena itu Chris lebih suka berkomunikasi dengan benda mati seperti komputer yang selalu memberikan jawaban yang pasti, dan sangat menyukai matematika dan ilmu alam.

Chistopher sangat mengikuti aturan karena apa yang diperintahkan oleh orang lain atau aturan yang ada sudah disimpan dalam ”memori” di otaknya. Apabila menemukan situasi, suatu tempat atau saat seseorang berbicara dengannya, maka ia akan berusaha mencari informasi di dalam otaknya tentang hal tersebut. Oleh karena itu, Chistopher tidak menyukai keramaian karena pada saat keramaian banyak orang yang berbicara atau suara bising sehingga ia tidak dapat mengolah dan mencari informasi dengan benar di otaknya sehingga ia bisa merasa pusing karena terlalu banyak berpikir. Chris mendasari tingkah lakunya berdasarkan segala sesuatu yang ia sukai serta yang memiliki jawaban yang pasti seperti matematika. Chris hanya bisa melakukan sesuatu berdasarkan apa yang telah ia pelajari atau sesuatu yang diharuskan oleh orang lain.

Selain benda mati, Christopher juga tertarik pada hewan, bahkan ia jauh lebih baik berinteraksi dan dapat mencurahkan afeksi kepada hewan karena ia merasa tidak perlu terlibat banyak komunikasi dengan hewan ketimbang manusia. Inilah yang membawanya berpetualang dalam memecahkan pembunuhan seekor anjing pudel tetangganya yang bernama Wellington.

Dalam memecahkan kasus pembunuhan ini, Chistopher yang biasanya tidak suka berbicara dengan orang asing kali ini harus memberanikan diri berbicara dengan orang asing (tetangganya) untuk mendapatkan informasi. Chris merasa berbicara dengan orang adalah hal yang membingungkan dan sia-sia karena belum tentu ia mengerti apa yang dibicarakan oleh orang lain, kecuali hal itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Chris merasa terkejut mengetahui banyak hal yang disembunyikan oleh orang-orang disekitarnya. Namun Chris tidak peduli apakah ayahnya pernah berhubungan dengan Mrs. Shears, atau ibunya yang berselingkuh dengan Mr. Shears, bahkan hanya kebingungan yang ia rasakan ketika mengetahui ayahnya berbohong mengenai ibunya masih hidup selama ini. Seluruh tubuhnya menggigil dan perutnya mual. Sebenarnya tubuhnya bereaksi akan luka psikologis mengenai ibunya namun kognisinya tidak dapat mencerna hal tersebut.

Pukulan yang paling berat baginya adalah ketika ia mengetahui bahwa ayahnya lah yang telah membunuh Wellington. Chris merasa terancam karena ia seakan-akan menyadari bahwa ia selama ini tinggal bersama seorang pembunuh. Ia merasa pembunuhan terhadap Wellington sama seperti pembunuhan terhadap manusia lain. Chris berpikir apabila ayah bisa membunuh Wellington, bisa saja ia adalah berikutnya.

Hal ini menimbulkan ketakutan pada diri Chris sehingga memutuskan untuk pergi dari rumah. Namun ia harus membuat skema logis akan apa yang harus ia lakukan karena ia tahu bahwa tidak bisa hidup sendiri, ia harus tinggal bersama orang lain. Ia memutuskan untuk pergi ke London menemui ibunya. Meskipun ia harus bertarung dengan rasa takutnya, terutama ketika ia berada di stasiun, dipaksa untuk bersentuhan dengan orang-orang, dan bertahan akan suara bising yang sangat memekakan telinga.

Setelah apa yang ia capai, Chris merasa sangat bangga bukan karena kehidupannya yang kembali lengkap melainkan karena ia bisa menghadapi ketakutannya untuk pergi ke London seorang diri, lulus dalam tes matematika tingkat A, berhasil memecahkan pembunuhan Wellington, dan berhasil membuat sebuah buku yang menceritakan pengalaman dirinya. Dari apa yang ia capai, Chris hanya merasa tidak ada satu pun di dunia ini yang tidak ia lakukan.