Tha.Sha.My.Win.Pit

rss

Sabtu, 05 Juni 2010

Keluarga Abbott: Review Kasus

    Maya hidup di lingkungan keluarga yang terlihat sempurna. Ayahnya bekerja di toserba serta ibunya selalu ada untuknya. Semenjak umur 8 tahun ia tinggal sebagai seorang pengungsi bersama sepasang lanjut usia yang tidak mempunyai anak dan tinggal disana selama kurang lebih 6 tahun. Pada umur 14 tahun orang tuanya akhirnya menemukannya dan membawanya kembali ke rumah, namun semuanya tidak lagi sama. Setidaknya ini yang ada di benak orang tua Maya. Maya di mata orang tuanya adalah seorang gadis kecil yang manis dan selalu menjadi kesayangan orang tuanya. Namun apa yang ada dalam diri Maya sekarang sangat berbeda dan sulit untuk diterima.

   Maya yang sekarang telah menjadi seorang remaja memang sedang dalam masanya dalam membangun otonominya, belajar untuk memandirikan dirinya serta berpikir dan bertindak atas dirinya sendiri. Hasratnya pun sangat besar untuk belajar, ini menjadikannya sangat pintar di sekolah. Namun hal ini terhambat ketika ia kembali ke keluarga aslinya. ’Saya harus mengerjakan semua hal, apabila tidak saya tidak akan merasa nyata’, begitu pikirnya.

   Di mata orang tuanya, Maya telah menjelma menjadi gadis yang keras kepala, pembangkang dan ’sulit’. Perkembangan Maya menuju pendewasaan diri dianggap sebagai sebuah ’keberanian’ oleh orang tuanya. Maya bukanlah lagi seorang gadis yang mendengarkan apa perkataan orang tuanya dan memutuskan untuk menyelesaikan serta melakukan semuanya sendiri atas keinginannya sendiri. Tidak hanya ayah yang melihatnya bekerja terlalu keras, hal ini paling membat gusar ibunya. Ia tidak suka ketika Maya tenggelam dalam buku-bukunya dan merasa bahwa Maya terlalu pintar, ia ingin Maya mau peduli padanya dan menghabiskan waktu dengannya seperti dulu. Namun sekarang Maya lebih suka belajar. Lalu orang tuanya lantas menyimpulkan bahwa Maya ’sakit’, dan memasukkannya ke rumah sakit (mental).

   Maya didiagnosis sebagai paranoid schizophrenia. Terkadang ia mendengar ’suara-suara’ yang menyuruhnya untuk berpikir dan bertindak. Suara-suara ini juga kadang membuatnya merasa terpisah dari badannya karena ia melakukan hal-hal yang tidak ingin ia lakukan, yang disebut depersonalisasi. Seringkali inilah yang orang tuanya sebut ’impulsif’. Anehnya Maya masuk rumah sakit atas keinginannya sendiri. ’Ini membantu saya untuk menggunakan pikiran saya sendiri’. Ini memberikan petunjuk bahwa apa yang yang ada dalam pikirannya adalah bahwa ia tidak sakit. di rumah sakit pun Maya dapat berperilaku dengan baik serta mau diajak bekerja sama.

   Keluarga Abbott mendapat perhatian karena kasusnya yang pelik serta kenyataan-kenyataan yang tersembunyi pada bagaimana masing-masing anggota keluarga ini berinteraksi. Sebagai contoh, paranoid yang dialami oleh Maya sebenarnya dipicu oleh interaksi non-verbal antara kedua orang tuanya sehingga merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi diantara mereka berdua dan objeknya adalah dia, dan itu memang benar. Orang tuanya juga memiliki pemikiran yang menarik dimana mereka menilai bahwa putri mereka memiliki kekuatan semisal telepati yang bisa membaca pikiran mereka, yang ternyata setelah ditelusuri melalui wawancara, ini adalah manifestasi dari rasa terpukul mereka karena Maya tidak lagi ingin membagi pemikiran dan perasaannya kepada mereka karena hendak membangun otonominya sendiri.






Cerita selengkapnya:
Keluarga Abbott

Keluarga Abbott: Analisis

    Akar dari permasalahan yang dialami oleh keluarga Abbott adalah kekecewaan. Oleh karena telah terpisah 6 tahun, orang tua Maya telah kehilangan tahun-tahun perkembangan anaknya. Maka ketika mereka kembali tinggal bersama, mereka sulit menerima kenyataan bahwa Maya telah mulai tumbuh dewasa. Orang tuanya masih menganggap Maya seperti anak kecil dan masih mengarahkan apa yang harus Maya lakukan. Ini menyebabkan konflik berat dalam diri Maya. Maya yang pada umurnya sedang membangun otonominya menjadi merasa terkekang dan unreal karena tidak diizinkan untuk melakukan hal-hal secara mandiri. Akibatnya Maya lalu merasa dirinya adalah sebuah mesin yang harus melakukan segala sesuatunya dengan benar meskipun itu bukanlah keinginannya. Maya melihat ini sebagai suatu penyangkalan atas dirinya, merasa bahwa orang tuanya tidak ’melihat’ dirinya sebagai ’seseorang’ yang merupakan ’dirinya apa adanya’. Inilah mengapa ia merasa tidak pernah mendapat kasih sayang yang nyata dan tulus terutama dari ibunya, dan kehilangan perasaannya karena ia merasa lebih baik tidak mempunyai perasaan agar tidak lagi berharap dan merasa sakit.

   Maya hanya ingin mandiri dan memisahkan diri dari orang tuanya. Maya ingin ada sebagai dirinya sendiri dan melakukan semuanya atas keinginannya sendiri. Itulah caranya untuk mengada. Namun ketika ia dilarang untuk melakukannya, ia tidak mampu untuk mengungkapkannya lalumerepressnya dalam-dalam hingga berakumulasi pada titik dimana ia akan meledak (seperti ketika ia ’menyerang’ ibunya) dan menjadi ’impulsif’. Untuk memperparah, orang tuanya seringkali bereksperimen terhadap dirinya dengan komunikasi non-verbal yang terlihat serta menyangkal pemikiran, ingatan, dan tindakan yang Maya pernah lakukan. Sekarang Maya berada dalam kebingungan, ia tidak lagi mampu membedakan mana yang hanya ada dalam pikirannya dan mana yang memang terjadi; ingatan manakah yang benar-benar terjadi atau yang diciptakan; serta tidak tahu lagi siapakah yang dapat dipercaya maupun yang tidak dapat dipercaya. Komunikasi verbal antara orang tuanya membuatnya menjadi paranoid dan berhalusinasi akan apa yang orang lain pikirkan tentangnya. Karena itu Maya mencari tempat berlindungnya sendiri, diantara buku-bukunya, ke dalam 'dunia'-nya.

   Orang tuanya tidak bisa menerima bahwa anaknya mulai dewasa. Mereka tidak bisa menerima mengapa Maya ingin terpisah dengan orang tuanya. Mereka menganggap Maya sakit dan perlu untuk disembuhkan. Bagi mereka, tidak ada yang mengetahui Maya lebih baik daripada mereka sendiri, bahkan Maya sekalipun. Ini yang mereka coba buat Maya mengerti. Sebenarnya yang orang tua Maya sayangi adalah Maya kecil yang manis, penurut, manja, dan sangat bergantung pada mereka. Ia bukanlah Maya, karena ia sedang sakit.

   Sampai kapanpun permasalahan ini tidak akan terselesaikan apabila hanya Maya yang mendapat perawatan karena orang tuanya menyumbangkan aspek terbesar dalam perubaan dalam diri Maya. Orang tuanya harus mendapatkan perawatan agar mereka daat menerima kenyataan dan mengerti apa yang dibutuhkan Maya. Maya memerlukan pengakuan dan kepercayaan. Maya ingin mandiri dan ia ingin keluarganya ada disana untuk mendukungnya, bukan suatu penyangkalan akan keberadaannya.

Analisis Novel "The Curious Incident of The Dog in The Night Time"


The Curious Incident of The Dog in The Night Time
Christopher Boone, serang anak penyandang Sindrom Asperger berumur 15 tahun. Kehidupan baginya adalah sesuatu yang membingungkan karena dunia yang ada dalam pikirannya adalah dunia dimana ia adalah satu-satunya orang yang hidup. Chris lebih suka tinggal di ruangan yang sempit dan gelap sendirian dibandingkan harus ke lapangan yang luas yang penuh sesak dengan orang-orang dan terkadang harus berinteraksi dengan mereka, ini dikarenakan Chris menilai interaksi dengan orang sangat membingungkan walaupun hanya obrolan ringan atau candaan—yang sering kali memiliki arti lebih dari satu. Kata kiasan atau majas menurutnya merupakan hal aneh dan tidak mungkin terjadi, misalnya pohon menari. Chistopher juga tidak dapat mengartikan mimik muka orang yang sedang bicara dengannya karena menurutnya mimik manusia itu mudah sekali berubah yang membuatnya semakin bingung dalam mengartikannya.

Chris merasa manusia itu tidak bisa diperkirakan, bagaimana mereka berpikir dan bagaimana mereka akan bertindak, oleh karena itu Chris lebih suka berkomunikasi dengan benda mati seperti komputer yang selalu memberikan jawaban yang pasti, dan sangat menyukai matematika dan ilmu alam.

Chistopher sangat mengikuti aturan karena apa yang diperintahkan oleh orang lain atau aturan yang ada sudah disimpan dalam ”memori” di otaknya. Apabila menemukan situasi, suatu tempat atau saat seseorang berbicara dengannya, maka ia akan berusaha mencari informasi di dalam otaknya tentang hal tersebut. Oleh karena itu, Chistopher tidak menyukai keramaian karena pada saat keramaian banyak orang yang berbicara atau suara bising sehingga ia tidak dapat mengolah dan mencari informasi dengan benar di otaknya sehingga ia bisa merasa pusing karena terlalu banyak berpikir. Chris mendasari tingkah lakunya berdasarkan segala sesuatu yang ia sukai serta yang memiliki jawaban yang pasti seperti matematika. Chris hanya bisa melakukan sesuatu berdasarkan apa yang telah ia pelajari atau sesuatu yang diharuskan oleh orang lain.

Selain benda mati, Christopher juga tertarik pada hewan, bahkan ia jauh lebih baik berinteraksi dan dapat mencurahkan afeksi kepada hewan karena ia merasa tidak perlu terlibat banyak komunikasi dengan hewan ketimbang manusia. Inilah yang membawanya berpetualang dalam memecahkan pembunuhan seekor anjing pudel tetangganya yang bernama Wellington.

Dalam memecahkan kasus pembunuhan ini, Chistopher yang biasanya tidak suka berbicara dengan orang asing kali ini harus memberanikan diri berbicara dengan orang asing (tetangganya) untuk mendapatkan informasi. Chris merasa berbicara dengan orang adalah hal yang membingungkan dan sia-sia karena belum tentu ia mengerti apa yang dibicarakan oleh orang lain, kecuali hal itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Chris merasa terkejut mengetahui banyak hal yang disembunyikan oleh orang-orang disekitarnya. Namun Chris tidak peduli apakah ayahnya pernah berhubungan dengan Mrs. Shears, atau ibunya yang berselingkuh dengan Mr. Shears, bahkan hanya kebingungan yang ia rasakan ketika mengetahui ayahnya berbohong mengenai ibunya masih hidup selama ini. Seluruh tubuhnya menggigil dan perutnya mual. Sebenarnya tubuhnya bereaksi akan luka psikologis mengenai ibunya namun kognisinya tidak dapat mencerna hal tersebut.

Pukulan yang paling berat baginya adalah ketika ia mengetahui bahwa ayahnya lah yang telah membunuh Wellington. Chris merasa terancam karena ia seakan-akan menyadari bahwa ia selama ini tinggal bersama seorang pembunuh. Ia merasa pembunuhan terhadap Wellington sama seperti pembunuhan terhadap manusia lain. Chris berpikir apabila ayah bisa membunuh Wellington, bisa saja ia adalah berikutnya.

Hal ini menimbulkan ketakutan pada diri Chris sehingga memutuskan untuk pergi dari rumah. Namun ia harus membuat skema logis akan apa yang harus ia lakukan karena ia tahu bahwa tidak bisa hidup sendiri, ia harus tinggal bersama orang lain. Ia memutuskan untuk pergi ke London menemui ibunya. Meskipun ia harus bertarung dengan rasa takutnya, terutama ketika ia berada di stasiun, dipaksa untuk bersentuhan dengan orang-orang, dan bertahan akan suara bising yang sangat memekakan telinga.

Setelah apa yang ia capai, Chris merasa sangat bangga bukan karena kehidupannya yang kembali lengkap melainkan karena ia bisa menghadapi ketakutannya untuk pergi ke London seorang diri, lulus dalam tes matematika tingkat A, berhasil memecahkan pembunuhan Wellington, dan berhasil membuat sebuah buku yang menceritakan pengalaman dirinya. Dari apa yang ia capai, Chris hanya merasa tidak ada satu pun di dunia ini yang tidak ia lakukan.

Rabu, 19 Mei 2010

ANALISIS "My Name Is Khan"

"My Name Is Khan"


Analisis Eksistensial :
         Rizvan Khan adalah seorang muslim pengidap Asperger Syndrome yang selama hidupnya dibiasakan untuk hidup selayaknya orang biasa namun dengan berlandaskan sudut pandangnya seorang diri karena Khan memiliki keterbatasan sebagai penyandang autis. Khan tidak menyukai kontak fisik dengan orang lain serta memiliki kesulitan untuk mengerti ekspresi emosi manusia atau suatu kata-kata/bentuk yang memiliki banyak arti. Ekspresi emosi manusia itu terkadang sulit untuk ditebak, mudah berubah-ubah dan kadang memiliki makna berbeda. Khan cenderung lebih nyaman untuk menarik diri dari lingkungan sosial, karena memiliki keterhambatan dalam komunikasi dengan sesama yang seringkali merasa tidak mengerti bentuk emosi atau maksud dari yang dibicarakan orang lain. Namun demikian tidak memiliki hambatan dalam perkembangan bahasa, hanya saja ia tidak bisa menyerap banyak informasi atau berlebih dalam satu waktu. Oleh karena itu Khan tidak menyukai keramaian atau suara bising karena membuatnya bingung, sulit untuk fokus dan ingin menghindari sumber kebisingan, semakin terlalu banyak data yang masuk semakin informasinya tidak dapat dipilah dan jika didesak maka Khan semakin hilang kendali, meskipun merasa ingin melarikan diri.

          Dibalik kekurangannya kecerdasan yang tinggi memberikan kelebihan tersendiri pada Khan. Ibunya memberikan fasilitas kepada Khan untuk mengembangkan kecerdasannya dengan mendalami ilmu alam dan banyak membaca buku pengetahuan, sehingga Khan dapat berkarya dari kelebihan yang ia miliki itu, salah satunya dengan memperbaiki alat-alat elektronik para tetangganya, atau membuat alat untuk mengatasi banjir di desanya. Namun Khan sendiri tidak mengerti untuk apa ia melakukan pekerjaan itu, yang ia tahu mungkin saja ia hanya harus berhubungan dengan peralatan lalu memperbaiki sesuatu dan membuat sesuatu berdasarkan pengetahuan yang ia miliki, khususnya untuk benda mati yang jauh lebih ia sukai menurutnya dibandingkan dengan bersentuhan dengan sesama atau mendengarkan banyak pembicaraan orang atau suara bising di luar sana. Dengan bersentuhan terutama dengan orang baru, Khan merasa tidak nyaman, risih, butuh penyesuaian atau adaptasi dahulu terhadap sentuhan-sentuhan tersebut. Karena begitu peka dengan sentuhan-sentuhan baru, dapat membuat Khan menjadi tidak terkendali karena ketidaknyamanan tersebut. Suara bising membuatnya bingung, penging, pusing membuatnya tidak fokus dan tidak nyaman.

          Khan memiliki pemikiran dengan tingkat rigiditas yang cukup tinggi. Rigiditas ini dikarenakan Khan suka dengan semua hal yang teratur, berurut, sistematis sehingga tidak membuatnya bingung. Satu cara untuk membuat hal berlangsung teratur adalah berpikir logis terutama jika hal itu menyangkut angka-angka atau argumen. Khanpun konsisten atas apa yang sudah ia ucapkan, berusaha untuk selalu menepati janjinya, serta tepat waktu. Namun hal itu dikarenakan Khan cenderung bersikap atau bertingkah laku sesuai dengan pengetahuan atau sudut pandang yang ia miliki. Contoh kecilnya seperti : Khan menghindari warna kuning karena di dalam pengetahuan warna kuning memiliki arti yang kurang baik. Warna kuning jika dipikir adalah warna yang menjijikkan dan menakutkan, misalnya penyakit kuning. Khan bertingkah laku karena suatu keharusan, atau karena lingkungan yang membentuknya untuk melakukan sesuatu, maka ia akan melakukan sesuatu seperti suatu pekerjaan hingga tuntas, meskipun itu bukan untuk dirinya sendiri. Hal inilah yang mendasarinya untuk berperilaku, seperti ia mencari kebahagiaan atau pergi menemui adiknya karena harus memenuhi permintaan ibunya, atau di saat ia pergi menemui presiden hanya untuk mengatakan bahwa ia bukan teroris karena permintaan istrinya jika ia ingin dimaafkan.

          Khan tidak mampu untuk berbohong oleh karena itu ia memiliki kepolosan yang tinggi, karena menurut ibunya seorang Khan tidak akan pernah ingkar dan bohong. ”Bohong itu tidak masuk akal, berbohong adalah kalau kau mengatakan sesuatu telah terjadi padahal sebetulnya tidak. Tapi selalu hanya ada satu hal yang terjadi pada saat tertentu dan di tempat tertentu, dan tak terhingga banyaknya hal yang tidak terjadi pada saat itu dan di tempat itu. Dan jika ”aku” membayangkan sesuatu yang tidak terjadi maka aku juga langsung mulai membayangkan semua hal lain yang tidak terjadi”. Khan tidak menyadari bahkan tidak mengerti apa yang sedang dialami olehnya, sekalipun ia sedang diobjekkan oleh seseorang.

          Di saat Khan masuk penjara dan ditanya paksa mengenai Al-Qaeda, yang ia pikirkan hanya ia menyesal mengapa ia tidak membaca buku tentang Al-Qaeda terlebih dahulu sehingga ia tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukkan. Khan pun menepati janji kepada istrinya untuk tidak menemui istrinya sekalipun berada di depan matanya dan kepada John untuk menyampaikan ”howdy” di saat ia bertemu dengan presiden tanpa mengetahui maksud dari John itu untuk apa. Bahkan disaat mempersunting Mandeera pun, Khan dengan polosnya memintanya untuk menikahinya hanya karena ia merasa bahwa Mandeera adalah seseorang wanita yang baik, tanpa melihat sudut pandang agama seperti yang dikatakan ibunya bahwa manusia di dunia ini hanya ada dua yaitu baik dan jahat.

          Khan sendiri tidak mengenal arti eksistensi diri, pengakuan, pilihan hidup dan sebagainya. Namun orang lain dapat mengakui keberadaan dan loyalitas Khan dari kelebihan dan kekurangnya dan itu merupakan penghargaan eksistensi terhadap dirinya, meskipun Khan tidak mengetahui atau menyadari apa yang sudah ia lakukan dan yang sudah ia capai, karena yang ia ketahui hanyalah ia berhasil menepati janjinya.

Rabu, 05 Mei 2010

Gabriel (-Honoré) Marcel - Penutup (bagian akhir)

Marcel dalam Dialog
   Tiga dekade setelah kematiannya, filosofi Marcel terus menciptakan aliran ilmu pengetahuan yang tetap yang apabila menyederhanakan isinya, namun membuktikan relevansi yang berkesinambungan untuk ruang lingkup filsafat kontemporer. Pengaruh Marcel pada filsafat kontemporer sangat nyata, contohnya karya dari Paul Ricoeur, muridnya yang tersohor. Melalui Ricoeur, Marcel telah mempengaruhi filsafat kontemporer di dalam dan sekitar tradisi deskriptif pola penyimpangan dan pengembalian (detour and return) yang mengkarakterisasikan Ricoeur dan beberapa murid lainnya sangat mirip dengan dialektika Marcel mengenai cerminan primer dan sekunder. Sama sebaliknya, pemahaman Marcel tentang otherness—digambarkan dengan gambarannya mengenai “konstelasi,” percampuran yang dihubungkan secara berarti kepada being yang tidak bisa dihitung (non-totalizable)—adalah tantangan yang tegas bagi para filsuf yang menganut otherness absolut seperti Emmanuel Levinas, Jacques Derrida, dan John D. Caputo, dan suatu sumberdaya berharga untuk para filsuf dengan pemahaman chiastic mengenai otherness, termasuk Ricoeur dan Ricard Kearney. Sebagai tambahan, filosofi Marcel memberikan kemungkinan yang banya untuk dialog dengan ontology-ontologi kontemporer yang berusaha untuk mengalamatkan permasalahan “being” tanpa masuk ke dalam pengonsepan “kekerasan” atau “ontoteologi” etis mengenai Tuhan. Bahkan, filosofinya telah menjadi daya tarik untuk para sarjana seperti pada karya Martin Heidegger, Jean-Luc Marion, Merold Westphal dan sarjana lain yang memfilosofikan persimpangan antara filsafat dan teologi. Akhirnya. Penekanan Marcel bahwa filsafat harus menerangkan pengalaman kehidupan kita dan juga bahwa contoh konkrit memiliki banyak kesamaan dengan pada pemikir yang melihat filsafat sebagai “jalan kehidupan”, termasuk Pierre Hadot dan Michael Foucalt. Sumber dari filosofi Marcel mulai dilirik, dan marilah berharap bahwa penerbitan kembali karya yang tengah kita perdebatkan adalah dua karyanya yang paling penting (The Mystery of Being dan Creative Fidelity) akan membantu kira untuk memajukan sebuah renaissance (kebangunan) dalam kesarjanaan demi pemikir yang luar biasa ini.

Bibliografi
   Marcel adalah seorang penulis yang telah banyak berkarya, karyanya meliputi filsafat, drama, kritisasi, dan komposisi musical. Bibliografi ini hanya menyinggung permukaan dari “ keselururam karyanya yang luas. Bilbliografi yang lebih lengkap dapat ditemukan dalam: (1) Lapointe, Francois H. dan Claire, eds. Gabriel Marcel and His Critics: An International Bibliography (1928-1976). New York and London: Garland Publishing, 1977; (2) Schilpp, Paul Arthur dan Lewis Edwin Hahn, eds. The Philosophy of Gabriel Marcel. The Library of Living Philosophers, vol. 17. La Salle, IL: Open Court, 1984; dan (3) sumber bibliografi yang bagus ada pada website Gabriel Marcel Society.



References:
Wikipedia 
The Gabriel Marcel Society
Stanford Encyclopedia of Philosophy

Gabriel (-Honoré) Marcel - Karya dan Pemikiran (2 dari 3)

3. Ontological Exigence (Desakan Ontologis)
   “Apa yang menjadikan seorang manusia adalah exigencies-nya” (Marcel 1973, hlm. 34). Namun, exigencies dapat ditahan, bahkan diredam, oleh keputusasaan. Seperti kasus seseorang yang “difungsionalisasikan” (dilihat berdasarkan fungsinya). Dunia yang rusak dapat menahan desakan transenden (sesuatu diluar pemikiran manusia), hanya meninggalkan sisa kebutuhan fungsional yang tertinggal. Desakan ontologis, kebutuhan transendensi, dihubungkan dengan ketidakpuasan tertentu—yang terkadang semakin menjadi masalah apabila seseorang tidak bisa menenangkan ketidakpuasannya dengan kekuatannya sendiri. Namun, tanpa suatu perasaan akan sesuatu yang tidak beres, desakan ontologis akan meredup apabila tidak terdapat perasaan ketidakpuasan. Inilah sebabnya mengapa orang fungsional, orang yang tidak lagi menyadari bahwa dunia ini rusak, digambarkan sebagai orang yang kehilangan kesadarannya terhadap hal-hal ontologis dan kebutuhannya terhadap transedensi. Menghadapi kemungkinan keputusasaan ini, Marcel mengemukakan bahwa:
Keberadaan memang—atau harus—dibutuhkan. Adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk mempersingkat semuanya menjadi sebuah pementasan-pementasan yang sukses tetapi tidak konsisten satu sama lain... atau, seperti kata-kata Shakespeare, ‘sebuah dongeng oleh seorang yang bodoh.” Saya bercita-cita untuk berpartisipasi dalam being ini, dalam kenyataan ini—dan mungkin cita-cita ini bahkan telah menjadi suatu tingkat partisipasi, bagaimanapun mendasarnya. (Marcel 1995, hlm. 15)
  Maka, desakan ontologis adalah sebuah kebutuhan pada beberapa tahap hubungan di alam kosmos dan untuk sebuah pengertian mengenai tempat dan peran dalam hubungan ini. Kombinasi keajaiban dan keinginan yang mendukung, bukan berarti harus memahami seluruh alam kosmos, tetapi untuk memahami sesuatu dimana tempat orang tersebut ada didalamnya. Perhatikan bahwa bagi Marcel, desakan ontologis tidak semata-mata sebuah ‘keingingan” untuk ‘berada’ atau ‘berhubungan’, tetapi suatu “desakan interior” atau “pembanding.” “Sebaliknya dinyatakan, desakan [ontologis] tidak dapat dikurangi dalam beberapa keadaan, suasaan hati, atau sikap psikologis yang seseorang miliki; lebih kepada pergerakan jiwa manusia yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaannya sebagai manusia” (Keen 1984, hlm. 105).

4. Transendensi
   Dalam pandangan Marcel, sangat jelas bahwa istilah ‘transendence’ telah diturunkan dalam filosofi modern.  Trancendence tidak dapat hanya berarti “melampaui”  (going beyond) tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Penjelasan tersebut harus menahan tekanan perbedaan tradisional antara “the immanent” (yang bersifat kebatinan) dan “the transcendent” (yang bersifat kesempurnaan), penjelasan yang menekankan langkah yang vertikal dibandingkan horizontal, suatu transenden terhadap ketinggian, suatu trans-asenden (trans-ascendence: pergi melampaui/melambung tinggi). Meskipun transenden disejajarkan dengan kebatinan (the immanent), Marcel bersikeras bahwa “transenden” tidak dapat diartikan sebagai “perjalanan (pengalaman) yang melampaui.” “Harus ada sebuah kemungkinan untuk mengalami sebuah perjalanan transendence seperti itu, kecuali jika kemungkinan itu ada dan tidak dapat digambarkan” (Marcel 1951a, hlm. 46). Kecenderungan untuk memotong gagasan dari mengalami transendensi adalah hasil dari sebuah pandangan obyektif mengenai pengalaman tersebut. Tetapi, pengalaman bukanlah sebuah obyek, maka tidak bisa dilihat secara obyektif. Ibaratnya, intisari dari pengalaman bukanlah ”menyerap kedalam diri seseorang,” seperti halnya ’mengecap rasa’, tetapi ”sebuah penegangan seseorang terhadap sesuatu, contohnya, seperti saat pada saat malam kita mencoba untuk mendapatkan persepsi yang jelas mengenai suara tang terdengar samar-samar.” (Marcel 1951a, hlm 74). Jadi, saat ia menekankan pada kemungkinan pengalamanan transenden, ia tidak langsung bermaksud bahwa the transcendent dapat dimengerti
   Ada suatu aturan dimana subyek tersebut menemukan dirinya sendiri berada dalam sesuatu yang diluar kendalinya. Saya ingin menambahkan bahwa kata ”transenden” memiliki arti apapun—hal ini membuat suatu jurang yang absolut dan tidak dapat dijembatani, yang membentang antara sang subyek dan being, yang sejauh being menghindari setiap usaha untuk memikirkannya kembali. (Marcel 1973, hlm. 193)
5. Being and Having
   Marcel mendiskusikan being dalam konteks yang beragam; namun, satu dari banyaknya poin-poin yang ilustratif mengenai masukan pada isu ini adalah perbedaan antara being dan having. Pada beberapa kasus, perbedaan ini adalah sesuatu yang jelas dan maka dari itu tidak perlu diperjelas secara khusus. Contohnya, kebanyakan orang telah mengetahui perbedaan antara ’memiliki’ (having) sebuah rumah dan ’menjadi’ (being)  ramah. Namun, ada kasus lain dimana perbedaan antara ’memiliki’ sesuatu dan ’menjadi’ sesuatu menjadi lebih signifikan. Contohnya, disaat kita berharap, kita tidak tidak memiliki harapan. Kita adalah harapan. Sama halnya dengan kita tidak memiliki sebuah kepercayaan. Kita adalah ’kepercayaan’.
   Ilustrasi penanda Marcel mengenai being dan having adalah ilustrasi yang sebenarnya memisahkan perbedaan antara mereka: ”tubuhku.” Tubuhku, sepanjang ini masih tubuhku, adalah sesuatu yang saya miliki dan sesuatu yang menjadi diri saja, dan tidak hanya dapat dijelaskan oleh penjelasan ini semata. Saya dapat meliat tubuh saya dengan cara yang terpisah, dan melihatnya sebagai suatu instrumen. Namun, dalam pelaksanaanya,  saat menjauhkan diri saya dari ’tubuh’ saya agar dapat memahaminya sebagai obyek, sebagai sesuatu yang saya miliki,  tubuh saya hilang sebagai tubuh’ku’. Saya dapat mempunyai ’sebuah’ tubuh, tetapi bukanlah tubuh ”saya”. Setelah saya menghubungkan  bahwa tubuh yang sedang dibicarakan adalah tubuh saya, dan bukan ’sebuah’ tubuh, tubuh tersebut tidak lagi menjadi sesuatu yang sederhana dan murni saya miliki—tubuh ini juga memang ’saya’, inilah saya. Di sisi lain, tidak bisa juga dikatakan bahwa saya adalah tubuh saya. Saya dapat  terpisah dari tubuh saya dalam situasi tertentu jika saya memperlakukannya secara instrumental. Seseorang yang kehilangan anggota badannya pada sebuah kecelakaan tidak menjadikannya kurang sebagai seseorang, maka, ada suatu pengertian dimana tubuh kita adalah sebuah obyek yang kita miliki.
   Peran ambigu yang diperankan tubuh saya tidak hanya menunjukkan perbedaan antara being dan having, namun juga menunjukkan bahwa kita berhubungan dangan hal-hal dan orang lain secara berbeda dalam dua cara tersebut. Having sesuai dengan benda-benda yang bersifat benar-benar eksternal untuk saya. Saya memiliki benda yang yang saya miliki, yang saya tidak bisa tinggalkan—dan ini dapat menjelaskan bahwa saya tidak bida ”memiliki”, contohnya, orang lain. Having menyiratkan kepemilikan ini karena ”memiliki selalu menyiratkan sebuah dugaan asimilasi yang tidak jelas” (Marcel 1949, hlm. 83). Disaat pertemuan dengan otherness (hal yang bersifat selain diri sendiri) terjadi dalam pengertian asimilasi saat berbicara  mengenai having, pertemuan dengan otherness (contoh: orang lain) dapat juga terjadi pada tahap being. Dalam hal ini Marcel mempertahankan bahwa pertemuan itu tidak sepenuhnya eksternal, tetapi dihabiskan dalam artian kehadiran dan partisipasi dibandingkan asimilasi.
   Baik being dan having adalah cara yang benar untuk mengalami hal-hal dalam dunia ini; meskipun begitu, penyalahgunaan kedua cara mengenai bersikap ini dapat memberikan dampak yang membahayakan.

6. Problem and Mystery
   Gagasan bahwa kita hidup dalam dunia yang rusak dan dipergunakan—beserta orang yang berkarakterkan dunia yang rusak, orang yang difungsionalkan—untuk perlahan berpindah kedalam salah satu perbedaan-perbedaan tematik sentral Marcel: perbedaan antara problem—masalah dan mystery—misteri. Ia mengemukakan bahwa dunia yang rusak adalah dunia yang  ”pada satu sisi, dipenuhi permasalahan dan, di satu sisi yang lain, telah ditentukan tidak memberi tempat bagi misteri” (Marcel 1995, hlm.12). penyangkalan terhadap hal yang misterius adalah salah satu gejala dunia rusak yang modern dan ini terikat pada karakter teknisnya, yang hanya mengetahui teknik mana yang akan dilakukan: problematik. Perbedaan antara masalah dan misteri—seperti kebanyakan gagasan Marcel, adalah gagasan mengenai partisipasi.
   Sebuah masalah adalah sesuatu yang saya temui, yang benar-benar ada di depan saya, tetapi sesuatu dimana saya dapat  kepung dan kurangi. Tetapi sebuah misteri adalah sesuatu dimana saya sendiri ikut terlibat, dan hanya dapat dipikirkan sebagai suatu bidang dimana perbedaan antara apa ada didalam diri saya dan apa yang ada di depan saya kehilangan arti dan kebenaran awanya. (Marcel 1949, hlm. 117)
   Sebuah masalah adalah suatu pertanyaan dimana saya tidak dilibatkan, dimana identitas seseorang pertanyakan, bukanlah sebuah isu. Dalam dunia yang problematik, tidak ada perbedaan siapa yang bertanya karena semua informasi yang relevan ada di ”depan” si penanya. Jadi, sebuah masalah adalah sesuatu yang menghalangi jalan saya, menciptakan halangan di depan saya yang harus saya lewati. Sebagai hasilnya, dalam menyelesaikan sebuah masalah penggunaan teknik tidak dapat dihindari, sebuah teknik yang dapat dan seringkali digunakan oleh orang lain yang menghadapi permasalahan yang sama. Jadi identitas si penanya dapat diganti tanpa merubah permasalahan itu sendiri. Inilah mengapa dunia rusak yang modern hanya dapat melihat yang problematik: ’problematik’ adalah sesuatu yang dapat diselesaikan dengan sebuah teknik, contohnya, mengganti ban mobil yang kempes atau mengunduh perangkat lunak keamanan untuku menghilangkan virus komputer.
   Ketika saya berhadapan dengan suatu masalah, saya mencoba untuk menemukan suatu solusi yang dapat menjadi sifat yang umum, yang setidaknya dalam teori dapat berakibat ditemukannnya kembali oleh siapapun juga. Tapi…  kebenaran seperti “siapapun juga” atau memikirkannya secara umum yang semakin aplikasinya semakin berkurang, semakin dalam seseorang masuk menuju lingkaran dalam dari filsafat… (Marcel 1951ª, hlm 213)
Marcel seringkali menggambarkan sebuah misteri sebagai “masalah yang menggerogoti datanya sendiri” (Marcel 1995, hlm. 19). “Masalah” seperti ini, nyatanya, meta-problematik; sebuah pertanyaan dimana identitas si penanya adalah sebuah isu. Pada tingkat ‘misterius’ , identitas si penanya terkait dengan pertanyaannya, maka, si penanya tidak bisa diganti. Apabila mengganti penanya maka merubah pertanyaannya juga. Disini, pada tingkat misterius, perbedaan ”di dalam-saya” dan ”di depan-saya” terbuka. Marcel bersikeras bahwa misteri ditemukan berhubungan dengan Being (contohnya, desakan ontologis saya), persatuan antara jiwa dan raga, ”permasalahan” mengenai kejahatan dan—mungkin contoh misteri jenis arcetypal (istilah yang Jung gunakan untuk merujuk suatu pola pemikiran atau khayalan yang bersasal dari pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang lampau, dan diperlihatkan seseorang secara tidak sadar. Kadang disebut juga imago)—kebebasan serta kasih sayang. Contohnya, saya tidak bisa mempertanyakan Being seperti ’keberadaan’ saya bukanlah suatu isu yang bisa dipertanyakan. Pertanyaan mengenai being dan pertanyaan mengenai siapa diri saya (being saya) tidak bisa ditujukan secara berbeda. Kedua pertanyaan ini entah kenapa tidak sesuai apabila pendekatannya seperti ’masalah’; namun, apabila disatukan, karakter misterius mereka terbuka dan keduanya menghapus diri mereka sendiri sebagai ’permasalahan’.
   Tidak seperti ’permasalahan’, misteri tidak terselesaikan menggunakan teknik dan maka dari itu tidak bisa terjawab degnan cara yang sama oleh orang yang berbeda—satu teknik, satu solusi, tidak bisa diterapkan di kasus yang berbeda dengan orang yang berbeda. Misteri memang dipertanyakan apabila misteri sama sekali menerima ’solusi’. Namun, tidak tepat apabila kita menganggap hal misterius sebagai sebuah jarak pengetahuan kita seperti ’masalah’. ”Hal misterius bukanlah sesuatu yang tidak diketahui, yang tidak diketahui hanyalah pembatas bagi hal problematik.” (Marcel 1949, hlm. 118).
Meskipun sebuah misteri bisa saja tidak dapat dipecahkan, bukan berarti tidak mempunyai arti; dan sementara sifatnya yang tidak mudah disampaikan membuatnya tidak dapat dilalui untuk mengkomunikasikan pengetahuan, misteri masih bisa dibicarakan cengan cara yang sugestif (Marcel 1964, xxv). Marcel dalam sebuah jurnal bertanggal 18 Desember, 1932, menyinggung bahwa:
   Hal metaproblematika adalah partisipasi dimana realitas saya adalah sebuah subyek yang dibangun... dan pantulannya akan menunjukkan bahwa partisipasi seperti itu tidak bisa menjadi sebuah solusi apabila tidak asli (genuine). Dan apabila partisipasi tersebut asli, partisipasi tersebut akan berhenti menjadi partisipasi dalam realitas transenden, dan malah akan menjadi sebuah penyisipan ke dalam realitas transenden, dan perlahan menurun dalam prosesnya... (Marcel 1949, hlm. 114)
   Merujuk kembali gagasan mengenai dunia yang rusak, hal teknis dan hal problematik adalah pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan hanya dengan ”bagian” seseorang. Orang yang utuh tidak terlibat dalam hal teknis karena self seseorang, identitas miliknya, bukanlah suatu isu. ”Pada dasar having [dan ’permasalahan’, dan teknik] terbentang spesialisasi tertentu mengenai spesifikasi diri (the self), dan hal ini dihubungkan dengan [sebuah] pengucilan sebagian diri... ” (Marcel 1949, hlm 172). Permasalahan ditujukan secara impersonal, dalam cara yang terpisah, saat misteri menuntut partisipasi, keterlibatan. Meskipun beberapa ’permasalahan’ dapat dicerminkan dengan suatu cara dimana ’permasalahan’ menjadi misterius, semua misteri dapat dicerminkan dengan suatu cara bahwa misteri diturun derajatkan dan menjadi problematik semata.

7. Primary and Secondary Reflection
   Perbedaan antara dua jenis pertanyaan—masalah dan misteri—memunculkan dua jenis pemikiran (thinking) atau refleksi/cerminan (reflection). ‘problematika’ dialamatkan pada pemikiran yang sifatnya terpisah dan teknis, sementara ‘misterius’ dijumpai dalam cerminan yang sifatnya dilibatkan, mengikutsertakan, dan tidak teknis. Marcel menyebut dua jenis pemikiran ini sebagai cerminan “primer” dan “sekunder”. Cerminan primer meneliti obyeknya menggunakan abstraksi, dengan cara membagi-baginya secara analitik ke dalam bagian-bagian yang telah ditentukan. Cerminan ini menyangkut definisi, intisari, dan solusi teknis terhadap permasalahan. Sebaliknya, cerminan sekunder sifatnya sintetik; cerminan ini lebih kepada menyatukan dibandingkan memisahkan. “Kasarnya, kita dapat menganggap dimana cerminan cenderung untuk mengurai kesatuan suatu pengalaman yang ditempatkan di depannya, fungsi dari cerminan sekunder pada intinya menguatkannya kembali; ia menggabungkan persatuan itu kembali” (Marcel 1951a, hlm. 83) .
   Kebanyakan pada umumnya, cerminan tidak lain adalah perhatian yang ada untuk menghadapi sesuatu. Namun, obyek-obyek yang berbeda memerlukan jenis cerminan yang berbeda. Agar dapat mengikuti penerapannya masing-masing pada ’masalah’ dan ’misteri’, cerminan primer diarahkan pada apa yang berada diluar saya atau ”di depan” saya, sementara cerminan sekunder diarahkan bukan yang di depan semata—yang berarti, tidak peduli apakah hal tersebut ada di dalam saya, yang menjadi diri saya, atau daerah-daerah dimana perbedaan antara ”dalam diri saya” dan ”di depan saya” cenderung untuk terkuak. Hubungan antara having dan being, ’masalah’ dan ’misteri’, serta cerminan primer dan sekunder adalah jelas, setiap pasangan membantu menjelaskan yang lainnya.
   Jadi, cerminan sekunder adalah aspek yang penting untuk memasuki the self. Cerminan adalah cara filosofis yang wajar karena menurut pandangan Marcel, filsafat harus dikembalikan pada situasi yang konkrit apabila ditujukan untuk memperbaiki nama ”filsafat.” Cerminan-cerminan sulit ini bersifat ”wajar secara filsafat” sepanjang mereka mengara kepada komunikasi yang lebih dekat dan jujur, baik dengan diri sendiri dan orang laain manapun yang termasuk dalam cerminan ini (Marcel 1951a, hlm. 79-80). Cerminan sekunder, yang menutupi kesatuan pengalaman, mengarah pada pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai partisipasi yang menyinggung contoh-contoh ’misterius’.

8. The Spirit of Abstraction
   Meskipun cerminan sekunder dapat menutupi kesatuan pengalaman yang dipecah oleh cerminan primer, ada kemungkinan bahwa cerminan sekunder menjadi frustrasi. Satu contoh kefrustrasian cerminan sekunder dan ’misterius’ adalah orang fungsional; namun, ini hanyalah satu contoh dari fenomena umum lainnya: seseorang yang telah menyerah kepada ”hantu abstraksi” (the spirit of abstraction). Saat kita terlibat dalam cerminan primer tanpa beranjak menuju pemersatuan, mengingat kembali tindakan cerminan sekunder, kita akan menjadi korban akan apa yang Marcel katakan sebagai hantu abstraksi. ”Seketika kita disamakan dengan kategori apapun, terisolasi dari semua kategori lain, sebuah penonjolan berlebihan, kita telah menjadi korban hantu abstraksi” (Marcel 1962b hlm. 155-156).
   Abstraksi, yang pada intinya adalah jenis pemikiran yang mengkarakterisasi cerminan primer, tidaklah selalu buruk. Tetapi, selalu menjadi sebuah operasi yang ”pada dasarnya intelektual” (Marcel 1926b, hlm. 156). Itu berarti, bertolak belakang dengan keberhasilan yang diberikan ilnu pengetahuan dan teknologi kepada kita, kita mungkin mengalah pada hantu abstraksi karena alasan hawa nafsu dibandingkan kegunaan intelektual. Abstraksi—yang selalu berarti abstraksi dari sebuah keberadaan yang berwujud dan konkrit—dapat menanggulangi keberadaan konkrit kira dan kita dapat memandang elemen-elemen yang diabstraksi mengenai keberadaan yang seakan-akan para elemen tersebut independen. Seperti yang Marcel gambarkan: ”abstraksi dapat terjadi dimana pikiran, ketika menghasilkan sesuatu yang menyenangkan, berhenti menyadari bahwa kondisi-kondisi awal, yang membenarkan abstraksi dan memperdaya dirinya sendiri mengenai sifat yang ada pada dirinya tidak lebih merupakan sebuah cara” (Marcel 1962b, hlm. 156).
   Bagi Marcel, pentingnya fenomena bisa sulit untuk diberi penekanan—bahkan, dalam Man Against Mass Society, Marcel mengemukakan bahwa hantu abstraksi tidaklah naif dan kejam, serta sebuah fator penting dalam perpecahan perang—dan ada sebuah pengertian dimana seluruh proyek filsafatnya adalah sebuah ”pertempuran melawan hantu abstraksi yang keras dan tidak kenal lelah” (Marcel 1962b, hlm. 1).

9. Disponibilité and Indisponibilité
   Marcel menekankan 2 cara umum untuk bersikap terhadap orang lain yang dapat menjadi tolak ukur untuk hubungan antar-subyektif (intersubjective): Disponibilité dan Indisponibilité. Secara umum kata-kata tersebut dapat diartikan sebagai “ketersediaan”  (availability) dan “ketidaktersediaan” (unavailability) atau, terkadang sebagai, “dapat diberikan” (disposability) dan “tidak dapat diberikan” (non-disposability). Bagi Marcel, kata-kata ini tidak seluruhnya berasal dari Bahasa Inggris. Maka, sebagai tambahan pada pengertian ketersediaan dan ketidaktersediaan, Marcel memberikan tambahan konsep “keterampilan” (handiness) dan “ketidakterampilan” (unhandiness) untuk para pembaca orang Inggris sebagai usaha untuk memperjelas maksudnya. Keterampilan dan ketidakterampilan merujuk pada ketersediaan “sumberdaya” seseorang—materii, emosionil, intelektual, dan spiritual. Maka istilah disponibilité merujuk pada ukuran dimana saya tersedia untuk seseorang, suatu keadaan dimana saya sumberdaya saya telah siap untuk ditawarkan; dan ‘ketersediaan’ atau ‘ketidaktersediaan’ mengenai sumberdaya ini adalah keadaan atau sifat yang umum. Disaat hal tersebut terlihat adanya kemungkinan penempatan sumberdaya seseorang dengan egois, sebenarnya adalah disaat sumberdaya mereka tidak tersedia, inaksesibilitas (inaccessibility: sukar diperoleh atau dimasuki) mereka akan berpengaruh baik pada orang lain maupun diri sendiri. Marcel seringkali berkomentar tentang sifat yang saling berhubungan mengenai treatment orang lain dan keadaan diri.
   Indisponibilité dapat mewujudkan dirinya sendiri dalam banyak cara; namun, “ketidaktersediaan” berakar dalam suatu ukuran keterasingan” (Marcel 1995, hlm. 40). Kebanggaan (pride) adalah salah satu contoh instruktif dari indisponibilité, meskipun keadaan yang juga sama dari non-disposability juga akan muncul di dalam seseorang yang telah mulai memandang dirinya dalam pengertian fungsional, atau seseorang yang dibutakan oleh pandangan dunia teknis yang murni. Kebanggaan bukanlah gagasan yang dilebih-lebihkan yang seseorang timbulkan dari perasaan mencintai dirinya sendiri, yang bersikeras Marcel anggap hanya keangkuhan; cukuplah dengan, kebanggaan yang terdiri dari kepercayaan seseorang bahwa dirinya terpenuhi (self-sufficient) (Marcel, 1995, hlm. 32). Indisponibilité diperbuat dengan mencabut kekuatan/kemampuan seseorang semata-mata oleh dirinya sendiri. “Orang yang bangga dijauhi oleh jenis persekutuan tertentu bersama dengan rekan-rekannya, dimana kebanggan bertindak sebagai sebuah prinsip kehancuran yang cenderung untuk ditembus. Memang, sifat merusak ini dapat sama-sama diarahkan dengan baik melawan diri sendiri (the self); pride tidak akan bisa cocok dengan kebencian terhadap diri (self-hate)…” (Marcel 1995, hlm 32).
   Untuk orang yang indisponible, orang lain direndahkan menjadi “contoh” atau “kasus” dari jenis “orang lain” daripada dihadapi sebagai orang lain selaku individu yang khas. Dibandingkan menghadapi orang lain sebagai seorang “Thou” (Anda), orang lain dihadapi sebagai seorang ‘He’ (laki-laki) atau ‘She’ (perempuan), atau bahkan sebagai seorang ‘It’ (benda).
   Apabila saya memperlakukan seorang ‘Anda’ sebagai seorang ‘Laki-laki’, saya merendahkan yang lain menjadi sesuatu yang hanya sebuah sifat; sebuah obyek bergerak yang bekerja dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jika, sebaliknya saya memperlakukan orang lain sebagai ‘Anda’, saya memperlakukan dan memahami dia sebagai kebebasan. Saya memahaminya sebagai kebebasan karena ia juga merupakan kebabasan dan bukan suatu sifat. (Marcel 1949, hlm. 106-107).
Disaat saya memperlakukan orang lain sebagai ‘Laki-laki’ atau ‘Perempuan’, adalah karena ia mempunyai jarak dengan saya tapi masih dalam batas jangkauan, diluar lingkaran yang saya bentuk dengan saya di dalam imajinasi saya, tetapi di dalam lingkaran “dunia saya.”
Yang lain, sejauh ia adalah orang lain, hanya ada sejauh saya dapat membuka diri padanya, sejauh ia sebagai seorang ‘Anda’. Namun saya terbuka padanya sejauh saya dapat berhenti membentuk lingkaran bersama dengan diri saya, bagian dalam dimana saya sedemikian rupa menaruh orang lain, atau hanya gagasannya saja; dalam lingkaran ini, orang lain menjadi gagasan mengenai orang lain, dan gagasan mengenai orang lain tidak lagi menjadi orang lain sebagai orang lain, tetapi orang lain yang berhubungan dengan saya… (Marcel 1949, hlm 107)
Saat saya memperlakukan orang lain sebagai seorang ‘Perempuan’, saya memperlakukannya tidak sebagai sebuah kehadiran, tetapi sebuah ketidakhadiran. Bagaimanapun juga, ketika saya memperlakukan orang lain sebagai seorang ‘Laki-laki’ atau ‘Perempuan’ dibandingkan seorang ‘Anda’, saya menjadi tidak mampu melihat diri saya sebagai seorang ‘Anda’. Dengan mencela orang lain, saya mencela diri saya sendiri.
   Jika saya memperlakukan orang lain sebagai sesuatu yang benar-benar di luar saya, sebagai seorang ‘Dia perempuan’, sebutan umum Nn. X, saya bertemu dengannya “dalam penggalan” seperti aslinya. Saya menemukan beragam aspek dari orang lain, elemen yang dapat digunakan untuk mengisi kuesioner atau formulir (nama, pekerjaan, umur, dll). Saya tidak hadir bagi orang lain dan saya menutup diri serta tidak peduli terhadap kehadiran yang ia tawarkan kepada saya. Tetapi, menghadapi orang lain dengan cara ini—bukan sebagai orang lain tapi sebagai sebuah contoh atau kasus mengenai fungsi-fungsi, peran, atau karakteristik tertentu—diri saya berhenti menjadi seseorang, tetapi masih memainkan peran saya, bagaikan sebuah pulpen yang merekam elemen-elemen beragam ke permukaan formulir tersebut. Orang lain manapun dapat berhadapan dengan orang lain dengan cara yang tidak personal (impersonal) seperti ini. Apabila ini permasalahannya, saya sendiri telah menjadi sesuatu yang dapat saling dirubah, dapat digantikan. Saya tidak lagi  menghadapinya dalam persekutuan yang sangat khas antara kami dua orang. Pandangan fungsional ini mengenai orang lain dan, pada akhirnya, mengenai diri (the self), adalah akibat langsung dari “hantu abstraksi.” Saat orang lain ditemui sebagai sebuah kasus yang umum, sayalah yang menghadapi diri saya sendiri sebagai sebuah kasus umum dalam pertemuan tersebut.
Sebagai perbandingan, “karakteristik suatu jiwa yang ada dan karakteristik terhadap pembuangan orang lain adalah sesuatu yang tidak dapat saya pikirkan dalam pengertian kasus; di dalam pandangannya (karakteristik) tidak ada kasus sama sekali” (Marcel 1995, hlm 41). Orang yang disponible, yang tersedia dan dan dapat dibuan untuk orang lain, memiliki pengalaman yang berbeda pada tempatnya di dunia: ia mengetahui interdependensi-nya (interdependence: saling bergantung) dengan orang lain. Hubungan-hubungan disponible dicirikan oleh kehadiran dan komunikasi antara orang-orang sebagai orang lain, sebagai kebebasan—sebuah komunikasi dan persekutuan antara orang-orang yang mengatasi pemisahan mereka tanpa bersatu menjadi satu kesatuan, yang berarti masih ada permisahan di beberapa tingkat. “Harusnya bisa disadari dengan cepat bahwa perwujudan sejenis ini tidak sepenuhnya otonom, tidak ada dalam ekspresi Bahasa Inggris, self-contained; sebaliknya perwujudan seperti itu terbuka dan dapat tersingkap, yang sama sekali tidak serupa dengan kemasan kompak kumpulan massa yang tidak dapat ditembus” (Marcel 1951a, hlm. 145). Agar dapat disponible terhadap orang lain adalah dengan kehadiran untuk dan karena dia, untuk menempatkan sumberdaya seseorang pada disposalnya, dan terbuka padanya serta dapat ditembus olehnya.
   Mungkin akan lebih jelas apabila saya menyampaikan bahwa orang yang yang berada dalam disposal saya adalah orang yang mampu berada dengan saya dengan lengkap ketikas saya sedang membutuhkannya; sementara orang yang tidak berada dalam disposal saya sepertinya hanya menawarkan saya pinjaman sementara dari sumberdayanya semata. Untuk seseorang saya adalah sebuah kehadiran; untuk orang lain saya adalah sebuah obyek, (Marcel 1995, hlm. 40)

10. “With” (avec)
  Maka, ketika saya menemui obyek dengan cara yang teknis dan mengobyekkan, pertemuan bersama orang lan tersebut memberikan kemungkinan unik lainnya. Saya dapat berhubungan ‘bersama’ orang lain.
Ketika saya menempatkan meja disebelah kursi, says tidak membuat perbedaan terhadap mejanya ataupun kursinya, dan saya dapat mengambil salah satunya tanpa memberikan pengaruh apa-apa; tetapi hubungan saya bersamamu, berpengaruh baik padamu dan padaku, dan juga gangguan-gangguan terhadap hubungan membuat perubahan. (Marcel 1951a, hlm. 181). Apabila indisponibilité digambarkan dengan contoh kebanggaan,
Kata “bersama,” diambil beserta seluruh pengertian metafisiknya, tidak sesuai baik antara hubungan pemisahan dan pengucilan, dan juga hubungan persatuan dan ketidaksatuan. “bersama” menyiratkan intisari dari coesse yang asli seperrti pluralism, dari perpisahannya dengan persekutuan. (Marcel 1995, hlm. 39). Apabila indisponibilité digambarkan dengan kebanggaan, disponibilité digambarkan dalam hubungan kasih sayang, harapan, dan kesetiaan.
   Berlawanan dengan Kant, ia tidak menghindar untuk mendeklarasikan partisipasinya dalam hubungannya “bersama” orang lain yang memiliki elemen afektif yang signifikan. Bukanlah pengetahuan mengenai orang lain yang mengawali ikatan kita dengan orang lain—meskipun kita memang harus berkembang untuk mengetahui sesuatu mengenai orang lain—tetapi “persaudaraan”, pengertian bahwa orang lain dikepung kebagagiaan dan kesedihan yang umum pada keluarga manusia. Itulah yang memungkinkan kita, saat melihat kemalangan orang lain berkata, “ Tenang, semuanya akan baik-baik saja.“ Untuk menghampiri seseorang atau membantu orang lain dikarenakan perasaan ‘sebuah tugas’ – orang yang disponible tidak keberatan untuk mengatakan bahwa ia benar-benar menginginkan apa yang terbaik untuk orang lain dan juga sungguh-sungguh ingin berbagi sesuatu dengan orang lain (Marcel 1964, 154). Bahkan, karena disponibilité adalah cara filsafat satu-satunya untuk menjelaskan apa yang kita maksdu mengenai cinta dan kepercayaan, disponibilité tidak dapat berdiri tanpa adanya elemen afeksi ini.

11. Reciprocity
   Seperti yang dijelaskan dalam penekanan pada “bersama” dan ditunjukkan dalam deskripsi indisponibilité, tidaklah cukup untuk seseorang menjadi disponible agar seluruh persekutuan disponibilité bisa terjadi. Adalah mungkin bagi seseorang untuk berhadapan dalam tata cara yang benar-benar terbuka dan tersedia (available), hanya untuk ditolak mentah-mentah oleh ketidaktersediaan orang lain yang total. Idealnya, suatu hubungan ketersediaan harus mengandung elemen pengulangan (reciprocity). Bagaimanapun, fakta bahwa pengulangan diperlukan dalam hubungan antar subyek tidak berarti pengulangan harus dituntut dalam hubungan semacam itu. Disponibilité tidak memaksakan haknya atau mengklaim orang lain apapun itu. Disponibilité beranalogi dengan situasi mengenai “sebuah keberadaan yang menanti hadiah atau bantuan dari keberadaan yang lain tetapi hanya di dasar kebebasannya, maka ialah orang pertama yng memprotes bahwa bantuan yang ia butuhkan adalah sebuah berkah, yang menyatakan kebalikan dari sebuah keharusan.” (Marcel 1962a, hlm. 55. Namun, fakta bahwa disponibilité tidak menuntut pengulangan dan fakta bahwa beberapa jenis hubungan memang memungkinkan untuk dijalanni tanpa pengulangan, tidak mengurangi fakta bahwa pengulangan seperti itu harus ada agar hubungan tersebut bisa benar-benar berkembang. “Seseorang bisa saja mengatakan bahwa ada sebuah hirarki keputusan, atau mungkin permohonan, yang berjarak antara panggilan satu-sama lain yang bagaikan membunyikan bel untuk memanggil seorang pelayan yang sampai cukup jenis panggilan lain yang terdengar seperti sebuah doa” (Marcel 1951a, hlm. 179).
Marcel mengelompokkan disponibilité sebagai kasih sayang yang dibatasi dengan kehadiran, sebagai sebuah pemberian milik diri sendiri. Maka dari itu, pada batas ekstrim, disponibilité akan disusun pada sebuah kasih sayang total yang akan menjadi kasih sayang yang tulus, rasa cinta tak bersyarat dan disability. Tetapi, sebuah masalah timbul disini, seperti yang ditekankan Marcel pada elemen efektid dalam disponibilité. Bagaimanakan suatu pemberian milik diri, memungkinkan orang-orang (keberadaan sementara) yang merupakan pengganti waktu, dapat merubah perasaan atau opini orang lain?

12. Pandangan, Pendirian, dan Kepercayaan
  Marcel menarik perbedaan yang tajam antara pandangan dan kepercayaan. Pandangan selalu berhububungan dengan apa yang tidak kita tahu, yang kita tidak terlalu mengenalnya. Pandangan ada dalam sebuah tembat antara anggapan (impression) dan penegasan (affirmation). Seringkali kasusnya adalah pandangan yang memiliki dasar yang “keliru,” yang paling jelas terlihat pada pelabelan (stereotype) dan prasangka (prejudice). Lagipula, pandangan bersifat “eksternal” terhadap hal-hal yang mereka maksudkan tanpa terkecuali. Saya memiliki pandangan mengenai sesuatu hanya ketika saya memisahkan diri saya darinya dan mempertahankannya dalam batas “rentangan tangan”. Namun, kita mempertahankannya anggapan-anggapan ini di hadapan orang lain, dan diberikan dasar-dasar pandangan yang sukar untuk ditangkap, adalah hal yang mudah untuk melihat bagaimana sebuah pandangan perlahan berubah dari sebuah anggapan yang kita harus mengklaim pandangan yang telah kita buat. Perubahan ini terjadi tanpa terkecuali sebagai bagian dari “ketidakhadiran cerminan” pada subyek yang ada dan mempertahankan pandangan sehubungan dengan pengulangan. Pandangan kita seringkali “tidak bisa dirubah” justru karena kurangnya pencerminan yang berkaitan dengan pandangan tersebut.
   Sementara pandangan bersifat tidak reflektif dan eksternal, pendirian—yang lebih mirip dengan kepercayaan dibandingkan pandangan—adalah hasil dari pencerminan yang luas dan selalu memperhatikan hal-hal yang sangat dekat dengan seseorang. Sama halnya dengan pandangan yang telah mempertahankan diri mereka menjadi keadaan yang sebenarnya, pendirian bersifat definitif, melampaui perubahan. Namun, ketika saya mengklaim bahwa tidak ada yang dapat merubah pendirian saya, atau menegaskan bahwa kejadian apapun yang akan terjadi—yang terantisipasi dan tidak terantisipasi—tidak akan mengubah pendirian saya. Namun, pada saat saya menyatakan bahwa tidak ada yang bisa merubah pendirian saya, saya juga harus menegaskan bahwa saya telah mengantisipasi semua skenario apapun yang mungkin terjadi dan tidak ada kemungkinan tentang kejadian apapun yang dapat merubah pandangan saya. Kemungkinan pertama adalah mustahil. Kemungkinan kedua berdasar pada sebuah keputusan, keputusan untuk tetap tidak berubah terhadap apapun yang akan terjadi. Tetapi, pada cerminan keputusan seperti ini, terlihat seakan over-confidant (terlalu menjadi sesuatu yang dipercaya) ketika keadaan tersebut diantisipasi di masa datang. Apakah pembenaran yang saya gunakan untuk menegaskan bahwa pendirian dalam saya tidak akan berubah dalam situasi apapun? Dengan melakukan hal tersebut sama dengan menunjukkan bahwa, di masa yang akan datang, saya akan berhenti untuk bercermin pada pendirian saya. Ini terlihat seperti apapun yang dapat saya katakan adalah bahwa pendirian saya adalah sesuatu yang, pada saat ini, saya tidak bisa membayangkan suatu perubahan terhadapnya.
   Kepercayaan serupa dengan pendirian; memang benar, tapi bagaimanapun juga, dibedakan oleh obyeknya. Marcel meneankan tempat-tempat dimana penggunaan yang tepat untuk istilah “kepercayaan” diterapkan bukan pada hal-hal “yang” kita percaya, tetapi kepada hal-hal yang “di dalamnya” kita percayai. Percaya bukanlah “percaya bahwa…” tetapi “mempercayai…” ‘Percaya bahwa’ mungkin lebih tepat dikarakterisasikan sebagai sebuah pendirian dibandingkan kepercayaan; namun, untuk ‘mempercayai sesuatu’ memperluas penghargaan pada hal tersebut, untuk meletakkan sesuatu sebagai disposal mengenai apa yang kita percayai. Gagasan mengenai penghargaan diletakkan pada disposal orang lain, adalah salah satu cara untuk menjelaskan tentang disponibilité. “Saya tidak dapat dipisahkan dengan cara apapun dimana saya meletakkan disposal X ini… sebenarnya penghargaan yang saya perluas adalah diri saya sendiri. Saya meminjamkan diri saya kepada X. kita harus memperhatikan bahwa ini pada dasarnya adalah tindakan ‘misterius’” (Marcel 1951a, hlm. 134). Inilah yang membedakan pendirian dengan kepercayaan. Pendirian merujuk kepada X, berdiri untuk X, tetapi tidak mengikat dirinya dengan X. Sewakti saya memiliki sebuah pandangan, saya adalah sebuah kepercayaan—kepercayaan mengubah diri saya di dunia, merubah keberadaan (being) saya. Kita sekarang dapat melihat bagaimana kepercayaan merujuk pada the other (yang lain), bagaimana hubungannya dengan disponibilité: kepercayaan selalu diterapkan untuk “kenyataan personal atau suprapersonal” (Marcel 1951a, hlm. 135). Kepercayaan selalu melibatkan seorang ’Anda’ yang saya hargai—penghargaan yang meletakkan saya pada disposal milik ‘Anda’—maka munculah permasalahan kesetiaan.

13. Creative Fidelity
   Diskusi mengenai “creative fidelity” adalah tempat yang sangat baik untuk menemukan unifikasi (penggabungan), atau setidaknya konjungsi (penghubungan), dari banya tema dan gagasan dalam pemikiran Marcel yang tidak sistematis. Desakan ontologis, keberadaan (being), misteri, cerminan sekunder, dan disponibilité, semua hal ini membentuk diskusi mengenai creative fidelity (kesetiaan khayalan), yang pada akhrinya berusaha untuk mengilustrasikan bagaimana kita mengalami kenyataan-kenyataan misterius dalam istilah yang kurang lebih konkrit.
“Permasalahan” tersebut disingkapi oleh kesetiaan sebagai ketetapan. Namun, kesetiaan—suatu kepercayaan dalam seseorang—memerlukan kehadiran sebagai tambahan untuk ketetapan di setiap waktu, dan kehadiran menyatakan secara tidak langsung mengenai sebuah elemen afektif. Ketetapan semata di setiap waktu, tidak mencukupi karena “sebuah pemenuhan obligasi yang berlawanan dengan kata hati (contre-couer) adalah tanpa cinta dan tidak bisa diidentifikasi dengan kesetiaan” (Marcel 1986, xxii). Maka, pertanyaannya sebagai berikut. Bagaimana agar kita setiap saat disponible? Bagaimana kita menjamin kepercayaan kita pada seseorang? Mungkin cara yang terbaik untuk mengalamatkan gagasan rumit ini adalah mengalamatkannya menjadi bagian-bagian tertentu: permasalahan yang disingkapi oleh kesetiaan dan jawaban yang diberikan oleh khayalan/kreatifitas.
   Perpanjangan penghargaan kepada orang lain adalah sebuah komitmen, dan tindakan yang saya lakukan sendiri dan meletakkan diri saya sebagai disposal bagi orang lain. Dalam perpanjangan penghargaan kepada orang lain juga berarti memberikan kepercayaan saya padanya, sangat berharap dia terbukti pantas untuk mendapatkan penghargaan yang saya berikan panjangjan padanya. Namun, kita terkadang salah menilai orang lain dengan cara menganggapnya terlalu tinggi, dan terkadang salah menilai akibat memandang remeh. Mengingat bahwa terdapat elemen afektif tentang spontanitas yang ada dalam disponibilité, bagaimana saya dapat menjamin bahwa saya akan tetap setia pada kepercayaan saya yang sekarang, terhadap orang lain? Seperti pertanyaan tentang pendirian selama ini, kesetiaan saya saat ini terhadap orang lain dapat dipertanyakan dalam artian daya tahannya. Meskipun pada saat ini saya merasa bersemangat untuk memperpanjang penghargaan saya, untuk menempatkan saya dalam disposal-nya, bagaimana saya bisa yakin bahwa perasaan ini tidak akan berubah esok hari, bulan depan, atau tahun depan? Terlebih lagi, karena saya telah memberikan diri saya pada orang ini, menempatkan diri saya dalam disposal-nya, ketika dia tidak sesuai dengan harapan saya—harapan harus dipatuhi dalam perpanjangan penghargaan saya kepadanya—saya terluka.
   Namun, “kekeliruan” orang lain untuk menyesuaikan diri terhadap harapan-harapan saya bukanlah kesalahan orang lain. Kekecewaan atau luka saya seringkali merupakan akibat dari saya yang menetapkan kualitas yang terbatas dan pasti kepada orang lain atau mendefinisikan dia dalam karakteristik-karakteristik, yang pada kenyataanya, ia tidak miliki. Namun, apakah yang membenarkan saya untuk menentukan karakteristik ini untuknya, dan apakah yang membenarkan saya untuk menilai bahwa ia menginginkannya? Penilaian seperti itu secara drastic melangkahi—atau mungkin habis—batasan disponibilité. Dengan begini, hal tersebut dapat dengan jelas menunjukkan bahwa saya, pada awalnya, terlibat dalam sebuah hubungan karena gagasan saya mengenai orang lain—yang telah terbukti keliru—dibandingkan dengan orang itu sendiri. Ini berarti pertemuan ini bukanlah dengan orang lain, melainkan dengan diri saya sendiri. Apabila saya terluka akibat kesalahan orang lain dalam menyesuaikan diri kepada gagasan yang saya miliki tentangnya, ini tidak menjadi indikasi mengenai kekurangan dalam diri orang lain; ini adalah akibat dari usaha saya yang tidak sesuai untuk mendiktekan dirinya dengan bersikeras bahwa ia menyesuaikan dengan gagasan saya. Saat saya mulai meragukan komitmen saya terhadap orang lain, kerapuhan “kepercayaan saya terhadap X” terhadap keraguan-keraguan ini sangat proposional untuk sisa pandangan saya yang masih ada di dalamnya. (Marcel, 1964a, hlm. 196).
Namun, singkatnya, terdapat kejadian yang tidak terhitung ketika harapan saya untuk orang lain tidak sesuai, saat perpanjangan penghargaan saya untuk orang lain—yang sekarang tidak begitu disposable untuk saya—hanya menghasilkan tuntutan untuk “meminta lebih” oleh orang lain. Situasi seperti itu pastinya menggoda saya untuk kembali mengevaluasi penghargaan yang saya tempatkan sebagai disposal untuk orang lain dan untuk menilai kembali pertanyaan-pertanyaan tentang daya tahan berkenaan dengan elemen afektif mengenai ketersediaan saya untuk orang lain. Maka, sekali lagi, misteri kesetiaan juga suatu pertanyaan mengenai komitmen terhadap waktu.
   “Bagaiamana saya dapat mengui jaminan awal yang menjadi dasar dari kesetiaan saya?... ini sepertinya mengarah pada lingkaran setan. Pada prinsipnya, untuk mengamanatkan diri saya, saya harus mengetahui diri saya; tetapi kenyataannya, saya benar-benar tahu diri saya ketika saya telah mengamanatkan diri saya sendiri” (Marcel 1964, hlm. 163). Namun, apa yang terlihat sebagai lingkaran setan dari penglihatan eksternal dialami dari dalam, oleh orang yang disponible, sebagai pendakian dan pertumbuhan. Cerminan sebagai cerminan primer mencoba untuk membuat pengalaman komitmen dapat dimengerti dalam istilah yang umum yang dapat diterapkan pada siapapun, tapi ini hanya akan menumbangkan dan menghancurkan kenyataan komitmen, yang pada intinya personal dan maka, hanya dapat dicapai oleh cerminan sekunder.
Kembali ke pertanyaan mengenai daya tahan terhadap waktu, Marcel menekankan bahwa, apabila terdapat sebuah “kemungkinan” mengenai kesetiaan, ini dikarenakan “disposability” dan khayalan adalah gagasan-gagasan yang berkaitan” (Marcel 1964, hlm. 53)). Untuk menjadi disposable adalah untuk mempercayai orang lain, untuk menempatkan saya dalam disposal untuknya dan untuk menjaga keterbukaan disponibilité. “Kesetiaan khayalan” dibentuk dalam diri kita yang secara aktif terpelihara dalam keadaan terbuka dan dapat ditembus, dalam menghendaki diri kita tetap terbuka terhadap orang lain terhadap pemasukan kehadiran orang lain.
   Kenyataan bahwa ketika saya mengamanatkan diri saya, saya mengakui dalam prinsip bahwa komitmen tersebut tidak lagi dipertanyakan. Dan telah jelas bahwa kemauan aktif ini bukan untuk mempertanyakan sesuatu kembali, kecampurtanganan sebagau sebuah elemen pokok dalam penentuan apakah yang akan menjadi permasalahan… kecampurtanganan meminta saya untuk menciptakan modus Vivendi tertentu… dan sebagai bentuk dasar dari kesetiaan khayalan. (Marcel 1964, hlm. 162).
   Kesetiaan yang palung jujur dalah khayalan, yang berarti, sebuah kesetiaan yang menciptakan the self agar dapat memenuhi tuntutan kesetiaan, kesetiaan seperti itu mengartikan pergantian “mempercayai…” sebagai sebuah godaan untuk kesetiaan dan melihat mereka dalam pengertian sebuah tes terhadap the self dibandingkan dalam arti pengkhianatan oleh orang lain—apabila kesetiaan gagal, ini adalah kesalahan saya dan bukan orang lain.
   Tetapi, ini serta merta menunda pertanyaan mengenai daya tahan terhadap waktu. Dimana seseorang dapat menemukan kekuatan untuk terus menciptakan diri sendiri dan memenuhi tuntutan kesetiaan? Kenyataanya adalah, pada sisi-sisi dari penegasan ontologis—dan kehadiran Harapan—kesetiaan selalu dapat diragukan. Saya dapat selalu mempertanyakan kenyataan dari ikatan yang menghubungkan saya dengan orang lain, selalu mulai meragukan kehadiran seseorang yang saya setia kepadanya, mengganti kehadirannya dengan gagasan yang diri saya ciptakan. Di sisi yang lain, semakin saya disposed terhadap penegasan ontologis, terhadap penegasan Being, semakin saya berkembang untuk melihat kekeliruan mengenai kesetiaan sebagai kesalahan saya, hasil dari ketidakterpenuhan saya dibandingkan ketidakterpenuhan orang lain.
   Karenanya, dasar dari kesetiaan yang diperlukan sepertinya berbahaya untuk kita segera setelah kita mengamanatkan diri kita kepada orang lain yang kita tidak kenal, sepertinya di sisi lain tidak dapat dibantah ketika tidak (yakin) didasari pada sebuah pemahaman berbeda mengenai Tuhan sebagai hal lain, tetapi pada pemunculan tertentu menyampaikan kedalaman ketidakterpenuhan summam altitudinem saya… pemunculan ini mensyaratkan sebuah kerendahan hati yang radikal dalam subyek tersebut. (Marcel 1964, hlm. 167)
Jadi, kesetiaan khayalan pasti bersinggungan dengan harapan. Cara satu-satunya dimana sebuah komitmen tanpa batas pada sebagian dari subyek dapat terpikirkan adalah apabila ia menarik kekuatan dari sesuatu lebih dari kemampuannya, dari sebuah pemunculan hingga sesuatu yang lebih besar, sesuatu tang transenden—dan penampakan ini disebut harapan. Dapatkah harapan memberi kita dasar yang memungkinkan manusia—yang bersatu secara radikal, seringkali cacat, dan pada umumnya lemah—menciptakan sebuah komitmen yang tanpa syarat? Marcel mengetahui, “Mungkin harus lebih lanjut dijelaskan bahwa nyatanya kesetiaan tidak akan bisa menjadi tanpa syarat, kecuali Keimanan, tetapi kita harus menambahkan, bagaimanapun juga, bahwa kesetiaan itu diharapkan untuk ketidakbersyaratan” (Marcel 1964a, hlm 133).

Gabriel (-Honoré) Marcel - Perkenalan (1 dari 3 )

Gabriel (-Honoré) Marcel
Nama panjang              : Gabriel Honoré Marcel
Tanggal, tempat lahir   : 7 Desember 1889. Paris, Perancis
Wafat                         : 8 Oktober 1973. Paris, Perancis
Era                             : Filsuf abad ke-21
Region                        : Filsuf Barat
Sekolah                       : Continental philosophy/Eksistensialisme
Ketertarikan utama      : Ontologi, Subyektivitas, Etika
Karya terkenal             : “the Other”
Pengaruh                     : Kierkegaard, Mauriac, Royce
Berpengaruh                : Levinas, Wahl, Ricoeur

Gabriel Marcel (1889-1973) adalah seorang filsuf, kritikus drama, penggubah drama, dan musisi. Ia berpindah agama menjadi seorang Katolk pada tahun 1929 dan filosofinya lalu dikenal sebagai “Eksistensialisme Katolik” (paling dikenal pada “Eksistensialisme adalah suatu Kemanusiaan” milik Jean-Paul Sartre), sebuah istilah yang pada mulanya ia sahkan namun kemudian ditolak. Sebagai tambahan dari banyak publikasi filosofinya, dia adalah pencipta sekitar tiga puluh karya yang penting. Marcel memberikan Kuliah Gifford di Aberdeen pada tahun 1949-1950, yang menghasilkan The Mystery of Being (Misteri Keberadaan) dalam dua volume, dan Kuliah William James di Harvard pada tahun 1961-1962, yang dikumpulkan dan diterbitkan sebagai The Existential Background of Human Dignity (Latarbelakang Eksistensial mengenai Martabat Manusia).

Awal Masa Kehidupan dan Pendidikan
   Marcel mendapat penerimaan dalam bidang filosofi pada tahun 1910, di umur yang sangat muda yaitu 21 tahun. Ia mengajar di sekolah-sekolah lanjutan, tentang kritik drama untuk banyak jurnal literatur, dan bekerja sebagai editor di Plon, penerbit Katolik Perancis utama. Marcel adalah anak dari seorang ateis, dan ia juga menjadi seorang ateis hingga perpindahannya ke agama Katolik tahun 1929. Marcel tidak setuju dengan paham anti-Semit dan mendukung perkembangan non-Katolik.

Tema-Tema Eksistensial
   Marcel seringkali diklasifikasikan sebagai salah satu para eksistensialis pertama, meskipun ia tidak suka berada dalam satu kategori dengan Jean Paul Sartre; Marcel lebih menyukai sebutan “neo-Sokratik” (mungkin dikarenakan Søren Kierkegaard, bapak dari eksistensialime Katolik, yang juga seorang pemikir neo-Sokratik). Disaat Marcel mengetahui bahwa interaksi manusia seringkali melibatkan karakterisasi obyektif terhadap “orang lain”, ia masih menegaskan adanya suatu kemungkinan untuk “persekutuan” – sebuah kondisi dimana kedua individu dapat merasakan subyektivitas mereka satu sama lain.
Dalam The Existential Background of Human Dignity, Marcel merujuk pada sebuah pementasan yang ia ciptakan pada tahun 1913 yang berjudul Le Palais de Sable (Istana Pasir), sebagai sebuah contoh dimana seseorang tidak dapat memperlakukan orang lain sebagai subyek.
   Karakter utama pementasan, Roger Moirans, adalah seorang politisi, orang yang konservatif yang berdedikasi untuk mempertahankan hak-hak Katolik melawan pemikiran bebas. Ia meraih posisinya sebagai juara monarki tradisional dan baru saja meraih kesuksesan besar setelah ia melawan sekularisme di sekolah-sekolah umum di dewan kota. Cukup masuk akal apabila ia tidak setuju akan perceraian anak perempuannya, Therese, yang ingin meninggalkan suaminya yang tidak setia dan memulai hidup yang baru. Dalam ini, ia membuktikan bahwa dirinya sebenarnya tidak berperasaan; semua rasa sayangnya dilimpahkan pada anak perempuan keduanya, Clarisse, yang ia anggap seorang spiritualis seperti dirinya. Namun sekarang ia memutuskan untuk memakai tudung dan menjadi seorang Carmelite (semacam biarawati). Moirans dikecam sebuah pemikiran bahwa makhluk ini, sangat indah dan cerdas, dan juga kaya akan kehidupan, dapat pergi dan mengubur dirinya sendiri dalam sebuah biara dan ia memutuskan untuk melakukan usaha terbaiknya agar Therese melupakan keinginannya… Clarisse sangat terkejut; ayahnya kini nampak seperti seorang penyamar, yang diam-diam sebenarnya adalah seorang penipu…
   Dalam hal ini, Moirans tidak dapat memperlakukan kedua anak perempuannya sebagai seorang subyek, malah sebaliknya menolak mereka karena sama-sama tidak sesuai dengan gambaran obyektif mereka, dalam pemikiran Moirans. Marcel menyatakan bahwa obyektifikasi seperti itu “kurang lebih menelanjangi obyeknya mengenai suatu hal yang ia maknai, maka hal tersebut merendahkannya dengan efektif.”
Pemikiran utama terkait lainnya dari Marcel adalah usahanya untuk melindungi subyektifitas seseorang terhadap pemusnahan oleh masyarakat yang digerakkan secara materialistic dan teknologis. Marcel berargumen bahwa keegoisan ilmiah menggantikan “misteri” keberadaan menjadi skenario kehidupan manusia yang palsu yang terdiri dari “permalahan” dan “solusi” teknis. Bagi Marcel, subyek manusia tidak dapat eksis dalam dunia teknolo gi, bahkan digantikan oleh sebuah obyek manusia. Seperti yang ia tekankan dalam Man Against Mass Society (Manusia Terhadap Masyarakat Luas) dan karya lainnya, teknologi memiliki kekuasaan istimewa yang dapat mempengaruhi subyek tersebut agar menerima tempatanya sama seperti “he” dalam percakapan internal ilmu pengetahuan; dan sebagai hasilnya, manusia telah diyakinkan oleh ilmu pengetahuan untuk bergembira dalam pemusnahan dirinya sendiri.

Pengaruh
   Selama bertahun-tahun, Marcel memimpin kelompok diskusi filosofi mingguan yang lalu ia bertemu dan memberi pengaruh kepada filsuf-filsuf muda penting asal Perancis seperti Jean Wahl, Paul Ricoeurm Emmanuel Levinas, dan Jean-Paul Sartre. Marcel merasa kebingungan dan kecewa bahwa reputasinya hampir secara keseluruhan didasari oleh risalah-risalah filosofisnya, bukan karena pementasan-pementasannya, yang ia ciptakan dengan harapan agar lebih menarik untuk pendengar yang lebih luas. Albert Camus dan Sartre jauh lebih sukses dalam mengubah pemikiran-pemikiran filosofinya kedalam literatur yang lebih menarik.

1. Sketsa Biografi
   Marcel lahir rahun 1889. Ibunya meninggal dunia ketika ia masih berumur 4 tahun, lalu Marcel dibesarkan oleh ayah dan bibinya, yang kemudian menikah. Ia menyelesaikan kuliahnya, tetapi tidak begitu menikmati hasilnya karena lebih dulu bertemu dengan filosofi. Ia berhubungan dengan banyak filsuf ternama di zamannya, karena ia juga menjadi tuan rumah dari acara “Jum’at Sore” yang terkenal. Paul Ricoeur, Emmanuel Levinas, Jean Wahl, dan Jean-Paul Sartre ada diantara filsuf ternama yang terkadang menghadiri perkumpulan seperti ini. Perkumpulan tidak resmi ini adalah kegiatan untuk menghubungkan para pemikir dari pandangan yang berbeda-beda untuk menmbicarakan tema-tema filosofi beragam, seringkali tema-tema yang dikerjakan Marcel pada minggu itu. Setelah melewati pengukuhannya di tahun 1910, ia sesekali mengajar filosofi di Sens, Paris, dan Montpellier; namun, profesi utamanya adalah kritikus drama (untuk Europe nouvelle dan kemudian untuk  Nouvelles littéraires) dan sebagai editor (untuk serial Feux croisés di Plon).
Peninggalan filosofi Marcel termasuk kuliah-kuliah, jurnal laporan dan karya dramatis sebagai tambahan untuk wacana ortodok dalam bentuk essay. Pada aliran-aliran ini, Marcel mungkin merasa paling puas dengan karya-karya dramatisnya. Bahkan, membaca kutipan-kutipan  dalam otobiografinya, seseorang dapat melihat beberapa kebingungan dan tidak ada sedikitpun jumlah frustrasi dalam kesuksesan karya-karya filosofisnya dan ketidakjelasan nisbinya dalam karya dramatisnya. Keberagaman wacana dari gagasan-gagasannya semakin bertambah rumit akan adanya fakta bahwa Marcel bukanlah seorang filsuf yang secara sadar tersistematis, sesuatu yang baru ia sadari ketika penerbitan Journal métaphysique (1927). Tema utama Marcel mengenai pemikiran-pemikirannya tetap ada dalam karya-karyanya, meskipun keberagaman wacana dan kurangnya sistematisasi dapat menyebabkan beberapa kesulitan bagi orang-orang yang tertarik dengan hasil karyanya. Beberapa karya yang patut dipertimbangkan adalah: The Mystery of Being, Creative Fidelity, Homo Viator, Being and Having, Tragic Wisdom and Beyond dan “On the Ontological Mystery.”
   Metodologi filosofis Marcel termasuk khas, meskipun memikul beberapa kesamaan baik pada eksistensialisme dan fenomenologi yang ditafsirkan secara luas. Ia bersikeras bahwa filosofi dimulai dengan pengalaman konkrit dibandingkan abstraksi. Biasanya pada akhirnya ia akan memberikan contoh-contoh agar dapat mendasari gagasan filosofis yang sedang ia selidiki. Metode itu sendiri terdiri dari “bekerja… mulai dari kehidupan lalu menuju pikiran, lalu dari pikiran turun ke kehidupan kembali, jadi hal itu dapat memberikan sedikit penerangan untuk kehidupan” (Marcel 1915a, hlm. 41). Jadi, filosofi ini adalah sejenis “gambaran mengenai struktur dimana pantulannya tersebut memberikan penerangan disaat suatu pengalaman dimulai” (Marcel 1962a, hlm. 180). Sebagai tambahan, Marcel mengemukakan rujukan yang menyejukkan untuk memfilosofikannya dalam bahasa yang umum. Ia menegaskan bahwa “kita harus menggunakan bentuk bahasa umum terkini agar dapat mengurangi gangguan pengalaman kita, dibandingkan wacana yang panjang lebar dengan bahasa filosofi yang baku” (Marcel 1965, hlm. 158).

Kamis, 08 April 2010

Gabriel Marcel

              Gabriel Marcel – seorang filsuf Perancis (1889-1973) sangat cermat memberikan gambaran tentang hubungan sosial AKU dan ENGKAU yang penuh arti.  Gabriel Marcel (1889-1973). Bukunya yang bersifat eksistensialis Exsistence et Obyektivite (1924). Dalam filsafatnya ia menyatakan, bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia memiliki kebebasan yang bersifat otonom. Ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh kejasmaniannya. Dari luar ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam ia dikuasai oleh jasmaninya.
              Manusia bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses). Ia selalu menghadapi obyek yang harus diusahakan seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain. Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara “berada” dan “tidak berada”. Maka manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada kematian. Tapi sebesarnya kemenangan kematian hanyalah semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan guna mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetiaan ada kepastian, bahwa ada engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menembus kematian. Adanya harapan menunjukkan, bahwa kemenangan kematian adalah semu. Ajaran tentang harapan ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjuk adanya “Engkau Yang Tertinggi” (Toi Supreme), yang tidak dapat dijadikan obyek manusia.

Apa itu kehadiran?
              Kehadiran menjadi sebuah peristiwa bermakna di kala tak ada lagi jarak antara AKU dengan ENGKAU. Hadir tidak berarti harus selalu secara objektif dalam lingkup ruang dan waktu yang sama. Bisa terjadi saya berada di dalam ruang dan waktu yang sama, namun tidak berarti saya “hadir” di situ. Kehadiran saya belum tentu dirasakan dan berarti bagi orang lain. Begitu pula sebaliknya. Mungkin bisa terjadi ada komunikasi (satu memancarkan—yang lain menerima, seperti radio). Namun tidak ada kontak.Kehadiran baru bisa dirasakan bila AKU berjumpa dengan ENGKAU. Dalam relasi AKU dan ENGKAU terkandung makna sesama. Persona dengan persona. Individu dengan individu. Kehadiran ini dapat diwujudkan, meski dalam ruang dan waktu yang berbeda. Secara istimewa kehadiran terealisasi konkrit dalam makna cinta. AKU dan ENGKAU mencapai level KITA. Keberadaan AKU bukan berdiri sendiri secara terpisah, demikian pula ENGKAU. Level AKU dan ENGKAU adalah satu kesatuan bagian tak terpisahkan. Dalam istilah filsafat antara AKU dan ENGKAU mewujud dalam satu kesatuan secara ontologis menjadi KITA. Sebuah kehadiran dalam bentuknya yang sempurna melebihi eksistensi memasuki strata “Ada.” Mencintai selalu mengandung keinginan (permohonan) kepada sesama. Di dalam cinta AKU memohon kepada ENGKAU dan ENGKAU kepada AKU. Jadi dari kedua belah pihak harus ada kebersediaan. Baik untuk mendengarkan maupun menjawab. Ada posisi setara saling menghormati. AKU harus mau keluar dari egoisme dan membuka diri terhadap kehadiran ENGKAU. Begitu pula sebaliknya. Kehadiran dalam konteks hubungan AKU dan ENGKAU yang terwujud dalam cinta, jika dipahami secara benar akan membawa kepada kesetiaan abadi. Kematian pun tidak berarti akan menghilangkan salah satu. Ikatan kesetiaan yang telah mewujud dalam KITA tidak berarti meniadakan AKU atau ENGKAU, meski maut menjemput. Kehadiran berlangsung terus-menerus melampaui ruang dan waktu.

Jadi, apa yang bisa melukai makna kehadiran?
              Kembali kepada egoisme masing-masing amat menodai arti kehadiran—cinta atau makna KITA. Itu juga berarti kembali kepada AKU dan DIA (bahwa orang lain di luar kita adalah objek dan bukan subjek) bukan AKU dan ENGKAU.
           Dalam kehidupan sehari-hari yang kita alami, di rumah, di kantor, atau dalam kehidupan sosial masyarakat, kita bisa merasakan–apakah kehadiran kita sudah efektif atau belum. Sudah me-manusia-kan manusia ataukah meng-objek-an manusia? Secara jujur, masing-masing diri kita bisa mengukur. Apakah kita sebagai penonton, pengamat, komentator, atau pemain. Ketika jarak mulai membentang, meski hanya serambut, kehadiran—AKU dan ENGKAU—belumlah menjadi KITA. A friend in need is a friend indeed. Teman sejati adalah teman yang selalu hadir di saat kita sedang dalam kesusahan.

Komunikasi
Gabriel Marcel mengartikan komunikasi dalam arti cinta. Komunikasi adalah cinta. Cinta adalah komunikasi. Komunikasi tak pernah hadir tanpa ada cinta. Dan begitu juga sebaliknya.

Rabu, 07 April 2010

kelompok kami yang ^CERIA^



Kelompok kami terdiri dari :

  • Apit Ramdani (10050007035)
  • Siti Silmi SInar Kencanawati (10050007040)
  • Shandyca maulidya Faraswati (10050007045)
  • Vita latifah (10050007046)
  • Switenia Silviani (10050007050)

Blog ini di buat untuk tugas mata kuliah "Analisis Eksistensialisme"
semoga blog ini bermanfaat untuk semuanya yah....... ^_________^ 

Senin, 05 April 2010

What is Psychology of Existential?

DEFINISI KEPRIBADIAN DARI PSIKOLOGI EKSISTENSI


TEORI
Psikologi Eksistensial tidak memiliki pendiri aliran tunggal. Akan tetapi, Psikologi Eksistensial memiliki akar pada hasil kerja beraneka ragam kelompok filsuf dari paruh kedua abad XIX, khususnya Soren Kierkegaard dan Frederich Nietzsche.
Kierkegaard dan Nietzsche memiliki ketertarikan yang berbeda. Kierkegaard tertarik untuk mengembalikan kedalaman keyakinan mengalahkan religi yang kering di kota Copenhagen waktu itu; Nietzsche, di sisi lain, terkenal karena ungkapannya “God is dead!” Walaupun demikian, mereka lebih cenderung berbeda dari filsuf-filsuf pendahulu mereka dibandingkan perbedaan di antara mereka sendiri. Keduanya melakukan pendekatan filsafat dari sudut pandang orang yang nyata, yang terlibat dalam kesulitan-kesulitan kehidupan nyata. Keduanya percaya bahwa eksistensi manusia tidak dapat ditangkap dalam sistem rasionalyang kompleks, agama, atau filsafat. Keduanya lebih mendekati disebut sastrawan dibandingkan ahli logika.
Sejak Kierkegaard, Nietzsche dan beberapa filsuf lain, psikolog baru-baru ini mencoba untuk memperjelas, memperluas, dan mempromosikan ide-ide eksistensialisme. Mereka berusaha melawan arus filsafatyang mengedepankan logika, rasionalitas, dan sistematis, dan melawan arus psikologi yang direduksi menjadi fisiologi dan perilaku.

DEFINISI
a.Definisi Psikologi Eksistensial
Eksistensial adalah sebuah aliran yang menolak untuk memandang manusia sebagai hasil dari reduksi berdasar pandangan ilmu pengetahuan alam, yaitu semua perilaku didasarkan pada hukum causa prima. Eksistensialis menilai bahwa manusia tidak dapat dijelaskan dengan kompleksitas sistem-sistem rasional. Psikologi eksistensial tidak mengkonsepsikan tingkah laku sebagai akibatdari perangsang dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Konsep eksistensial perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang menjadi. Eksistensi tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam proses menjadi sesuatuyang baru, mengatasi diri sendiri. Tujuannya adalah untuk menjadi manusia sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan dalam kehidupannya.
b.Kepribadian Secara Eksistensial
Kepribadian adalah cara manusia menuju individu yang Menjadi, individu yang bisa menentukan siapa, menjadi apa, dan bagaimana menjadi dirinya yang mampu mempergunakan potensinya dengan maksimal.
PRINSIP DASAR
1. Eksistensi manusia adalah suatu proses yang dinamis, suatu “menjadi” atau “mengada”. Hal ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri yakni existence yang artinya “ke luar dari” atau “ mengatasi” dirinya sendiri. Jadi eksistensi bersifat lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran tergantung padindividu dalam mengaktualisasi poensinya.

2. Eksistensi adalah pemberian makna. Hal ini sesuai dengan hakekat kesadaran manusia itu sendiri sebagai intensionalitas, yang selalu mengarah keluar dirinya dan melampaui dirinya (Transendensi).

3. Eksistensi adalah ada-dalam-dunia (in-der-welt-sein). Manusia tidak hidup sendiri dan berada dalam diri sendiri, melainkan berada dalam dunianya. Ada-dalam-dunia adalah struktur dasar mengadanya manusia. Kata sambung disini menunjukkan bahwa mengadanya manusia tidak bisa terlepas dan tidak dapat terrealisasi tanpa dunianya. Tidak mungkin manusia dilepaskandari dunianya dan sebaliknya tidak mungkin dunia dilepaskan dari manusia yang mengkonstitusikannya (menciptakan atau memaknainya). Dunia yang dimaksud bukan hanya sebagai lingkungan fisik namun juga dunia pribadi individu tersebut.

4. Manusia hidup dalam Mitwelt, Eigenwelt, dan Umwelt. Beda antara manusia dengan hewan terletak pada kompleksitas manusia, yang hidup bukan hanya dalam Umwelt (dunia fisik) tapi juga dalam Mitwelt (lingkungan manusia) dan Umwelt (lingkungan diri manusia itu sendiri)
  • Umweit (dunia biologis, “lingkungan”)
Dunia objek disekitar kita, dunia natural. Yang termasuk dalam umwelt diantaranya kebutuhan-kebutuhan biologis, dorongan-dorongan, naluri-naluri, yakni dunia yang akan terus ada, tempat dimana kita harus menyesuaikan diri. Akan tetapi umwelt tidak diartikan sebagai “dorongan-dorongan” semata melainkan dihubungkan dengan kesadaran-diri manusia.
  • Mitweit (“dunia bersama”)
Dunia perhubungan antar manusia dengan manusia yang lain. Didalamnya terdapat perhubungan antar berupa interaksi manusiawi yang mengandung makna. Dalam perhubungan tersebut terdapat perasaan-perasaan seperti cinta dan benci yang tidak pernah bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat biologis semata.
  • Eigenwelt (“dunia milik sendiri”)
Adalah kesadaran diri, perhubungan diri dan secara khas hadir dalam diri manusia. Eigenwelt adalah kesadaran-diri, perhubungan diri, dan secara khas hadir alam diri manusia. Selain itu eigenwelt adalah pusat dari perspektif diri dan pusat dari perhubungan diri dengan benda atau orang lain. Tanpa ini kita manusia akan kehilangan kesadaran-dirinya bahwa ”aku-ada” dan keberadaanku itu tidak bisa disangkal. Tanpa kesadaran itu manusia akan kehilangan orientasi dan dengan demikian kehilangan eksistensinya.

5. Eksistensi adalah ”milik pribadi”. Tidak ada dua individu yang identik. Tidak ada pula dua pengalaman yang identik. Oleh sebab itu eksistensi adalah milik pribadi yang keberadaannya tidak tergantikan oleh siapa pun.

6. Eksistensi mendahului esensi. Kalimat terkenal ini dinyatakan oleh Sartre. Kalimat ini bermakna bahwa nasib dan takdir manusia, struktur hidup manusia, dan juga konsepsi tentang manusia, adalah dipilih dan ditentukan sendiri oleh manusia. Bahwa eksistensi manusia merupakan produk dari kebebasan manusia itu.

7. Eksistensi adalah tentang ke-otentik-an. Menurut Heiddeger (1962) dan Sartre (1966), eksistensi sebagian besar manusia adalah tidak otentik karena dikuasai oleh kekuatan massa atau oleh pesona benda dan mengabaikan hati nurani. Kebalikannya, eksistensiyang otentik adalah eksistensi yang setiap perilakunya berasal dari hati nurani dan pilihan bebasnya sendiri.

link :
http://one.indoskripsi.com/node/3385