3. Ontological Exigence (Desakan Ontologis)
“Apa yang menjadikan seorang manusia adalah exigencies-nya” (Marcel 1973, hlm. 34). Namun, exigencies dapat ditahan, bahkan diredam, oleh keputusasaan. Seperti kasus seseorang yang “difungsionalisasikan” (dilihat berdasarkan fungsinya). Dunia yang rusak dapat menahan desakan transenden (sesuatu diluar pemikiran manusia), hanya meninggalkan sisa kebutuhan fungsional yang tertinggal. Desakan ontologis, kebutuhan transendensi, dihubungkan dengan ketidakpuasan tertentu—yang terkadang semakin menjadi masalah apabila seseorang tidak bisa menenangkan ketidakpuasannya dengan kekuatannya sendiri. Namun, tanpa suatu perasaan akan sesuatu yang tidak beres, desakan ontologis akan meredup apabila tidak terdapat perasaan ketidakpuasan. Inilah sebabnya mengapa orang fungsional, orang yang tidak lagi menyadari bahwa dunia ini rusak, digambarkan sebagai orang yang kehilangan kesadarannya terhadap hal-hal ontologis dan kebutuhannya terhadap transedensi. Menghadapi kemungkinan keputusasaan ini, Marcel mengemukakan bahwa:
Keberadaan memang—atau harus—dibutuhkan. Adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk mempersingkat semuanya menjadi sebuah pementasan-pementasan yang sukses tetapi tidak konsisten satu sama lain... atau, seperti kata-kata Shakespeare, ‘sebuah dongeng oleh seorang yang bodoh.” Saya bercita-cita untuk berpartisipasi dalam being ini, dalam kenyataan ini—dan mungkin cita-cita ini bahkan telah menjadi suatu tingkat partisipasi, bagaimanapun mendasarnya. (Marcel 1995, hlm. 15)
Maka, desakan ontologis adalah sebuah kebutuhan pada beberapa tahap hubungan di alam kosmos dan untuk sebuah pengertian mengenai tempat dan peran dalam hubungan ini. Kombinasi keajaiban dan keinginan yang mendukung, bukan berarti harus memahami seluruh alam kosmos, tetapi untuk memahami sesuatu dimana tempat orang tersebut ada didalamnya. Perhatikan bahwa bagi Marcel, desakan ontologis tidak semata-mata sebuah ‘keingingan” untuk ‘berada’ atau ‘berhubungan’, tetapi suatu “desakan interior” atau “pembanding.” “Sebaliknya dinyatakan, desakan [ontologis] tidak dapat dikurangi dalam beberapa keadaan, suasaan hati, atau sikap psikologis yang seseorang miliki; lebih kepada pergerakan jiwa manusia yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaannya sebagai manusia” (Keen 1984, hlm. 105).
4. Transendensi
Dalam pandangan Marcel, sangat jelas bahwa istilah ‘transendence’ telah diturunkan dalam filosofi modern. Trancendence tidak dapat hanya berarti “melampaui” (going beyond) tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Penjelasan tersebut harus menahan tekanan perbedaan tradisional antara “the immanent” (yang bersifat kebatinan) dan “the transcendent” (yang bersifat kesempurnaan), penjelasan yang menekankan langkah yang vertikal dibandingkan horizontal, suatu transenden terhadap ketinggian, suatu trans-asenden (trans-ascendence: pergi melampaui/melambung tinggi). Meskipun transenden disejajarkan dengan kebatinan (the immanent), Marcel bersikeras bahwa “transenden” tidak dapat diartikan sebagai “perjalanan (pengalaman) yang melampaui.” “Harus ada sebuah kemungkinan untuk mengalami sebuah perjalanan transendence seperti itu, kecuali jika kemungkinan itu ada dan tidak dapat digambarkan” (Marcel 1951a, hlm. 46). Kecenderungan untuk memotong gagasan dari mengalami transendensi adalah hasil dari sebuah pandangan obyektif mengenai pengalaman tersebut. Tetapi, pengalaman bukanlah sebuah obyek, maka tidak bisa dilihat secara obyektif. Ibaratnya, intisari dari pengalaman bukanlah ”menyerap kedalam diri seseorang,” seperti halnya ’mengecap rasa’, tetapi ”sebuah penegangan seseorang terhadap sesuatu, contohnya, seperti saat pada saat malam kita mencoba untuk mendapatkan persepsi yang jelas mengenai suara tang terdengar samar-samar.” (Marcel 1951a, hlm 74). Jadi, saat ia menekankan pada kemungkinan pengalamanan transenden, ia tidak langsung bermaksud bahwa the transcendent dapat dimengerti
Ada suatu aturan dimana subyek tersebut menemukan dirinya sendiri berada dalam sesuatu yang diluar kendalinya. Saya ingin menambahkan bahwa kata ”transenden” memiliki arti apapun—hal ini membuat suatu jurang yang absolut dan tidak dapat dijembatani, yang membentang antara sang subyek dan being, yang sejauh being menghindari setiap usaha untuk memikirkannya kembali. (Marcel 1973, hlm. 193)
5. Being and Having
Marcel mendiskusikan being dalam konteks yang beragam; namun, satu dari banyaknya poin-poin yang ilustratif mengenai masukan pada isu ini adalah perbedaan antara being dan having. Pada beberapa kasus, perbedaan ini adalah sesuatu yang jelas dan maka dari itu tidak perlu diperjelas secara khusus. Contohnya, kebanyakan orang telah mengetahui perbedaan antara ’memiliki’ (having) sebuah rumah dan ’menjadi’ (being) ramah. Namun, ada kasus lain dimana perbedaan antara ’memiliki’ sesuatu dan ’menjadi’ sesuatu menjadi lebih signifikan. Contohnya, disaat kita berharap, kita tidak tidak memiliki harapan. Kita adalah harapan. Sama halnya dengan kita tidak memiliki sebuah kepercayaan. Kita adalah ’kepercayaan’.
Ilustrasi penanda Marcel mengenai being dan having adalah ilustrasi yang sebenarnya memisahkan perbedaan antara mereka: ”tubuhku.” Tubuhku, sepanjang ini masih tubuhku, adalah sesuatu yang saya miliki dan sesuatu yang menjadi diri saja, dan tidak hanya dapat dijelaskan oleh penjelasan ini semata. Saya dapat meliat tubuh saya dengan cara yang terpisah, dan melihatnya sebagai suatu instrumen. Namun, dalam pelaksanaanya, saat menjauhkan diri saya dari ’tubuh’ saya agar dapat memahaminya sebagai obyek, sebagai sesuatu yang saya miliki, tubuh saya hilang sebagai tubuh’ku’. Saya dapat mempunyai ’sebuah’ tubuh, tetapi bukanlah tubuh ”saya”. Setelah saya menghubungkan bahwa tubuh yang sedang dibicarakan adalah tubuh saya, dan bukan ’sebuah’ tubuh, tubuh tersebut tidak lagi menjadi sesuatu yang sederhana dan murni saya miliki—tubuh ini juga memang ’saya’, inilah saya. Di sisi lain, tidak bisa juga dikatakan bahwa saya adalah tubuh saya. Saya dapat terpisah dari tubuh saya dalam situasi tertentu jika saya memperlakukannya secara instrumental. Seseorang yang kehilangan anggota badannya pada sebuah kecelakaan tidak menjadikannya kurang sebagai seseorang, maka, ada suatu pengertian dimana tubuh kita adalah sebuah obyek yang kita miliki.
Peran ambigu yang diperankan tubuh saya tidak hanya menunjukkan perbedaan antara being dan having, namun juga menunjukkan bahwa kita berhubungan dangan hal-hal dan orang lain secara berbeda dalam dua cara tersebut. Having sesuai dengan benda-benda yang bersifat benar-benar eksternal untuk saya. Saya memiliki benda yang yang saya miliki, yang saya tidak bisa tinggalkan—dan ini dapat menjelaskan bahwa saya tidak bida ”memiliki”, contohnya, orang lain. Having menyiratkan kepemilikan ini karena ”memiliki selalu menyiratkan sebuah dugaan asimilasi yang tidak jelas” (Marcel 1949, hlm. 83). Disaat pertemuan dengan otherness (hal yang bersifat selain diri sendiri) terjadi dalam pengertian asimilasi saat berbicara mengenai having, pertemuan dengan otherness (contoh: orang lain) dapat juga terjadi pada tahap being. Dalam hal ini Marcel mempertahankan bahwa pertemuan itu tidak sepenuhnya eksternal, tetapi dihabiskan dalam artian kehadiran dan partisipasi dibandingkan asimilasi.
Baik being dan having adalah cara yang benar untuk mengalami hal-hal dalam dunia ini; meskipun begitu, penyalahgunaan kedua cara mengenai bersikap ini dapat memberikan dampak yang membahayakan.
6. Problem and Mystery
Gagasan bahwa kita hidup dalam dunia yang rusak dan dipergunakan—beserta orang yang berkarakterkan dunia yang rusak, orang yang difungsionalkan—untuk perlahan berpindah kedalam salah satu perbedaan-perbedaan tematik sentral Marcel: perbedaan antara problem—masalah dan mystery—misteri. Ia mengemukakan bahwa dunia yang rusak adalah dunia yang ”pada satu sisi, dipenuhi permasalahan dan, di satu sisi yang lain, telah ditentukan tidak memberi tempat bagi misteri” (Marcel 1995, hlm.12). penyangkalan terhadap hal yang misterius adalah salah satu gejala dunia rusak yang modern dan ini terikat pada karakter teknisnya, yang hanya mengetahui teknik mana yang akan dilakukan: problematik. Perbedaan antara masalah dan misteri—seperti kebanyakan gagasan Marcel, adalah gagasan mengenai partisipasi.
Sebuah masalah adalah sesuatu yang saya temui, yang benar-benar ada di depan saya, tetapi sesuatu dimana saya dapat kepung dan kurangi. Tetapi sebuah misteri adalah sesuatu dimana saya sendiri ikut terlibat, dan hanya dapat dipikirkan sebagai suatu bidang dimana perbedaan antara apa ada didalam diri saya dan apa yang ada di depan saya kehilangan arti dan kebenaran awanya. (Marcel 1949, hlm. 117)
Sebuah masalah adalah suatu pertanyaan dimana saya tidak dilibatkan, dimana identitas seseorang pertanyakan, bukanlah sebuah isu. Dalam dunia yang problematik, tidak ada perbedaan siapa yang bertanya karena semua informasi yang relevan ada di ”depan” si penanya. Jadi, sebuah masalah adalah sesuatu yang menghalangi jalan saya, menciptakan halangan di depan saya yang harus saya lewati. Sebagai hasilnya, dalam menyelesaikan sebuah masalah penggunaan teknik tidak dapat dihindari, sebuah teknik yang dapat dan seringkali digunakan oleh orang lain yang menghadapi permasalahan yang sama. Jadi identitas si penanya dapat diganti tanpa merubah permasalahan itu sendiri. Inilah mengapa dunia rusak yang modern hanya dapat melihat yang problematik: ’problematik’ adalah sesuatu yang dapat diselesaikan dengan sebuah teknik, contohnya, mengganti ban mobil yang kempes atau mengunduh perangkat lunak keamanan untuku menghilangkan virus komputer.
Ketika saya berhadapan dengan suatu masalah, saya mencoba untuk menemukan suatu solusi yang dapat menjadi sifat yang umum, yang setidaknya dalam teori dapat berakibat ditemukannnya kembali oleh siapapun juga. Tapi… kebenaran seperti “siapapun juga” atau memikirkannya secara umum yang semakin aplikasinya semakin berkurang, semakin dalam seseorang masuk menuju lingkaran dalam dari filsafat… (Marcel 1951ª, hlm 213)
Marcel seringkali menggambarkan sebuah misteri sebagai “masalah yang menggerogoti datanya sendiri” (Marcel 1995, hlm. 19). “Masalah” seperti ini, nyatanya, meta-problematik; sebuah pertanyaan dimana identitas si penanya adalah sebuah isu. Pada tingkat ‘misterius’ , identitas si penanya terkait dengan pertanyaannya, maka, si penanya tidak bisa diganti. Apabila mengganti penanya maka merubah pertanyaannya juga. Disini, pada tingkat misterius, perbedaan ”di dalam-saya” dan ”di depan-saya” terbuka. Marcel bersikeras bahwa misteri ditemukan berhubungan dengan Being (contohnya, desakan ontologis saya), persatuan antara jiwa dan raga, ”permasalahan” mengenai kejahatan dan—mungkin contoh misteri jenis arcetypal (istilah yang Jung gunakan untuk merujuk suatu pola pemikiran atau khayalan yang bersasal dari pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang lampau, dan diperlihatkan seseorang secara tidak sadar. Kadang disebut juga imago)—kebebasan serta kasih sayang. Contohnya, saya tidak bisa mempertanyakan Being seperti ’keberadaan’ saya bukanlah suatu isu yang bisa dipertanyakan. Pertanyaan mengenai being dan pertanyaan mengenai siapa diri saya (being saya) tidak bisa ditujukan secara berbeda. Kedua pertanyaan ini entah kenapa tidak sesuai apabila pendekatannya seperti ’masalah’; namun, apabila disatukan, karakter misterius mereka terbuka dan keduanya menghapus diri mereka sendiri sebagai ’permasalahan’.
Tidak seperti ’permasalahan’, misteri tidak terselesaikan menggunakan teknik dan maka dari itu tidak bisa terjawab degnan cara yang sama oleh orang yang berbeda—satu teknik, satu solusi, tidak bisa diterapkan di kasus yang berbeda dengan orang yang berbeda. Misteri memang dipertanyakan apabila misteri sama sekali menerima ’solusi’. Namun, tidak tepat apabila kita menganggap hal misterius sebagai sebuah jarak pengetahuan kita seperti ’masalah’. ”Hal misterius bukanlah sesuatu yang tidak diketahui, yang tidak diketahui hanyalah pembatas bagi hal problematik.” (Marcel 1949, hlm. 118).
Meskipun sebuah misteri bisa saja tidak dapat dipecahkan, bukan berarti tidak mempunyai arti; dan sementara sifatnya yang tidak mudah disampaikan membuatnya tidak dapat dilalui untuk mengkomunikasikan pengetahuan, misteri masih bisa dibicarakan cengan cara yang sugestif (Marcel 1964, xxv). Marcel dalam sebuah jurnal bertanggal 18 Desember, 1932, menyinggung bahwa:
Hal metaproblematika adalah partisipasi dimana realitas saya adalah sebuah subyek yang dibangun... dan pantulannya akan menunjukkan bahwa partisipasi seperti itu tidak bisa menjadi sebuah solusi apabila tidak asli (genuine). Dan apabila partisipasi tersebut asli, partisipasi tersebut akan berhenti menjadi partisipasi dalam realitas transenden, dan malah akan menjadi sebuah penyisipan ke dalam realitas transenden, dan perlahan menurun dalam prosesnya... (Marcel 1949, hlm. 114)
Merujuk kembali gagasan mengenai dunia yang rusak, hal teknis dan hal problematik adalah pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan hanya dengan ”bagian” seseorang. Orang yang utuh tidak terlibat dalam hal teknis karena self seseorang, identitas miliknya, bukanlah suatu isu. ”Pada dasar having [dan ’permasalahan’, dan teknik] terbentang spesialisasi tertentu mengenai spesifikasi diri (the self), dan hal ini dihubungkan dengan [sebuah] pengucilan sebagian diri... ” (Marcel 1949, hlm 172). Permasalahan ditujukan secara impersonal, dalam cara yang terpisah, saat misteri menuntut partisipasi, keterlibatan. Meskipun beberapa ’permasalahan’ dapat dicerminkan dengan suatu cara dimana ’permasalahan’ menjadi misterius, semua misteri dapat dicerminkan dengan suatu cara bahwa misteri diturun derajatkan dan menjadi problematik semata.
7. Primary and Secondary Reflection
Perbedaan antara dua jenis pertanyaan—masalah dan misteri—memunculkan dua jenis pemikiran (thinking) atau refleksi/cerminan (reflection). ‘problematika’ dialamatkan pada pemikiran yang sifatnya terpisah dan teknis, sementara ‘misterius’ dijumpai dalam cerminan yang sifatnya dilibatkan, mengikutsertakan, dan tidak teknis. Marcel menyebut dua jenis pemikiran ini sebagai cerminan “primer” dan “sekunder”. Cerminan primer meneliti obyeknya menggunakan abstraksi, dengan cara membagi-baginya secara analitik ke dalam bagian-bagian yang telah ditentukan. Cerminan ini menyangkut definisi, intisari, dan solusi teknis terhadap permasalahan. Sebaliknya, cerminan sekunder sifatnya sintetik; cerminan ini lebih kepada menyatukan dibandingkan memisahkan. “Kasarnya, kita dapat menganggap dimana cerminan cenderung untuk mengurai kesatuan suatu pengalaman yang ditempatkan di depannya, fungsi dari cerminan sekunder pada intinya menguatkannya kembali; ia menggabungkan persatuan itu kembali” (Marcel 1951a, hlm. 83) .
Kebanyakan pada umumnya, cerminan tidak lain adalah perhatian yang ada untuk menghadapi sesuatu. Namun, obyek-obyek yang berbeda memerlukan jenis cerminan yang berbeda. Agar dapat mengikuti penerapannya masing-masing pada ’masalah’ dan ’misteri’, cerminan primer diarahkan pada apa yang berada diluar saya atau ”di depan” saya, sementara cerminan sekunder diarahkan bukan yang di depan semata—yang berarti, tidak peduli apakah hal tersebut ada di dalam saya, yang menjadi diri saya, atau daerah-daerah dimana perbedaan antara ”dalam diri saya” dan ”di depan saya” cenderung untuk terkuak. Hubungan antara having dan being, ’masalah’ dan ’misteri’, serta cerminan primer dan sekunder adalah jelas, setiap pasangan membantu menjelaskan yang lainnya.
Jadi, cerminan sekunder adalah aspek yang penting untuk memasuki the self. Cerminan adalah cara filosofis yang wajar karena menurut pandangan Marcel, filsafat harus dikembalikan pada situasi yang konkrit apabila ditujukan untuk memperbaiki nama ”filsafat.” Cerminan-cerminan sulit ini bersifat ”wajar secara filsafat” sepanjang mereka mengara kepada komunikasi yang lebih dekat dan jujur, baik dengan diri sendiri dan orang laain manapun yang termasuk dalam cerminan ini (Marcel 1951a, hlm. 79-80). Cerminan sekunder, yang menutupi kesatuan pengalaman, mengarah pada pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai partisipasi yang menyinggung contoh-contoh ’misterius’.
8. The Spirit of Abstraction
Meskipun cerminan sekunder dapat menutupi kesatuan pengalaman yang dipecah oleh cerminan primer, ada kemungkinan bahwa cerminan sekunder menjadi frustrasi. Satu contoh kefrustrasian cerminan sekunder dan ’misterius’ adalah orang fungsional; namun, ini hanyalah satu contoh dari fenomena umum lainnya: seseorang yang telah menyerah kepada ”hantu abstraksi” (the spirit of abstraction). Saat kita terlibat dalam cerminan primer tanpa beranjak menuju pemersatuan, mengingat kembali tindakan cerminan sekunder, kita akan menjadi korban akan apa yang Marcel katakan sebagai hantu abstraksi. ”Seketika kita disamakan dengan kategori apapun, terisolasi dari semua kategori lain, sebuah penonjolan berlebihan, kita telah menjadi korban hantu abstraksi” (Marcel 1962b hlm. 155-156).
Abstraksi, yang pada intinya adalah jenis pemikiran yang mengkarakterisasi cerminan primer, tidaklah selalu buruk. Tetapi, selalu menjadi sebuah operasi yang ”pada dasarnya intelektual” (Marcel 1926b, hlm. 156). Itu berarti, bertolak belakang dengan keberhasilan yang diberikan ilnu pengetahuan dan teknologi kepada kita, kita mungkin mengalah pada hantu abstraksi karena alasan hawa nafsu dibandingkan kegunaan intelektual. Abstraksi—yang selalu berarti abstraksi dari sebuah keberadaan yang berwujud dan konkrit—dapat menanggulangi keberadaan konkrit kira dan kita dapat memandang elemen-elemen yang diabstraksi mengenai keberadaan yang seakan-akan para elemen tersebut independen. Seperti yang Marcel gambarkan: ”abstraksi dapat terjadi dimana pikiran, ketika menghasilkan sesuatu yang menyenangkan, berhenti menyadari bahwa kondisi-kondisi awal, yang membenarkan abstraksi dan memperdaya dirinya sendiri mengenai sifat yang ada pada dirinya tidak lebih merupakan sebuah cara” (Marcel 1962b, hlm. 156).
Bagi Marcel, pentingnya fenomena bisa sulit untuk diberi penekanan—bahkan, dalam Man Against Mass Society, Marcel mengemukakan bahwa hantu abstraksi tidaklah naif dan kejam, serta sebuah fator penting dalam perpecahan perang—dan ada sebuah pengertian dimana seluruh proyek filsafatnya adalah sebuah ”pertempuran melawan hantu abstraksi yang keras dan tidak kenal lelah” (Marcel 1962b, hlm. 1).
9. Disponibilité and Indisponibilité
Marcel menekankan 2 cara umum untuk bersikap terhadap orang lain yang dapat menjadi tolak ukur untuk hubungan antar-subyektif (intersubjective): Disponibilité dan Indisponibilité. Secara umum kata-kata tersebut dapat diartikan sebagai “ketersediaan” (availability) dan “ketidaktersediaan” (unavailability) atau, terkadang sebagai, “dapat diberikan” (disposability) dan “tidak dapat diberikan” (non-disposability). Bagi Marcel, kata-kata ini tidak seluruhnya berasal dari Bahasa Inggris. Maka, sebagai tambahan pada pengertian ketersediaan dan ketidaktersediaan, Marcel memberikan tambahan konsep “keterampilan” (handiness) dan “ketidakterampilan” (unhandiness) untuk para pembaca orang Inggris sebagai usaha untuk memperjelas maksudnya. Keterampilan dan ketidakterampilan merujuk pada ketersediaan “sumberdaya” seseorang—materii, emosionil, intelektual, dan spiritual. Maka istilah disponibilité merujuk pada ukuran dimana saya tersedia untuk seseorang, suatu keadaan dimana saya sumberdaya saya telah siap untuk ditawarkan; dan ‘ketersediaan’ atau ‘ketidaktersediaan’ mengenai sumberdaya ini adalah keadaan atau sifat yang umum. Disaat hal tersebut terlihat adanya kemungkinan penempatan sumberdaya seseorang dengan egois, sebenarnya adalah disaat sumberdaya mereka tidak tersedia, inaksesibilitas (inaccessibility: sukar diperoleh atau dimasuki) mereka akan berpengaruh baik pada orang lain maupun diri sendiri. Marcel seringkali berkomentar tentang sifat yang saling berhubungan mengenai treatment orang lain dan keadaan diri.
Indisponibilité dapat mewujudkan dirinya sendiri dalam banyak cara; namun, “ketidaktersediaan” berakar dalam suatu ukuran keterasingan” (Marcel 1995, hlm. 40). Kebanggaan (pride) adalah salah satu contoh instruktif dari indisponibilité, meskipun keadaan yang juga sama dari non-disposability juga akan muncul di dalam seseorang yang telah mulai memandang dirinya dalam pengertian fungsional, atau seseorang yang dibutakan oleh pandangan dunia teknis yang murni. Kebanggaan bukanlah gagasan yang dilebih-lebihkan yang seseorang timbulkan dari perasaan mencintai dirinya sendiri, yang bersikeras Marcel anggap hanya keangkuhan; cukuplah dengan, kebanggaan yang terdiri dari kepercayaan seseorang bahwa dirinya terpenuhi (self-sufficient) (Marcel, 1995, hlm. 32). Indisponibilité diperbuat dengan mencabut kekuatan/kemampuan seseorang semata-mata oleh dirinya sendiri. “Orang yang bangga dijauhi oleh jenis persekutuan tertentu bersama dengan rekan-rekannya, dimana kebanggan bertindak sebagai sebuah prinsip kehancuran yang cenderung untuk ditembus. Memang, sifat merusak ini dapat sama-sama diarahkan dengan baik melawan diri sendiri (the self); pride tidak akan bisa cocok dengan kebencian terhadap diri (self-hate)…” (Marcel 1995, hlm 32).
Untuk orang yang indisponible, orang lain direndahkan menjadi “contoh” atau “kasus” dari jenis “orang lain” daripada dihadapi sebagai orang lain selaku individu yang khas. Dibandingkan menghadapi orang lain sebagai seorang “Thou” (Anda), orang lain dihadapi sebagai seorang ‘He’ (laki-laki) atau ‘She’ (perempuan), atau bahkan sebagai seorang ‘It’ (benda).
Apabila saya memperlakukan seorang ‘Anda’ sebagai seorang ‘Laki-laki’, saya merendahkan yang lain menjadi sesuatu yang hanya sebuah sifat; sebuah obyek bergerak yang bekerja dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jika, sebaliknya saya memperlakukan orang lain sebagai ‘Anda’, saya memperlakukan dan memahami dia sebagai kebebasan. Saya memahaminya sebagai kebebasan karena ia juga merupakan kebabasan dan bukan suatu sifat. (Marcel 1949, hlm. 106-107).
Disaat saya memperlakukan orang lain sebagai ‘Laki-laki’ atau ‘Perempuan’, adalah karena ia mempunyai jarak dengan saya tapi masih dalam batas jangkauan, diluar lingkaran yang saya bentuk dengan saya di dalam imajinasi saya, tetapi di dalam lingkaran “dunia saya.”
Yang lain, sejauh ia adalah orang lain, hanya ada sejauh saya dapat membuka diri padanya, sejauh ia sebagai seorang ‘Anda’. Namun saya terbuka padanya sejauh saya dapat berhenti membentuk lingkaran bersama dengan diri saya, bagian dalam dimana saya sedemikian rupa menaruh orang lain, atau hanya gagasannya saja; dalam lingkaran ini, orang lain menjadi gagasan mengenai orang lain, dan gagasan mengenai orang lain tidak lagi menjadi orang lain sebagai orang lain, tetapi orang lain yang berhubungan dengan saya… (Marcel 1949, hlm 107)
Saat saya memperlakukan orang lain sebagai seorang ‘Perempuan’, saya memperlakukannya tidak sebagai sebuah kehadiran, tetapi sebuah ketidakhadiran. Bagaimanapun juga, ketika saya memperlakukan orang lain sebagai seorang ‘Laki-laki’ atau ‘Perempuan’ dibandingkan seorang ‘Anda’, saya menjadi tidak mampu melihat diri saya sebagai seorang ‘Anda’. Dengan mencela orang lain, saya mencela diri saya sendiri.
Jika saya memperlakukan orang lain sebagai sesuatu yang benar-benar di luar saya, sebagai seorang ‘Dia perempuan’, sebutan umum Nn. X, saya bertemu dengannya “dalam penggalan” seperti aslinya. Saya menemukan beragam aspek dari orang lain, elemen yang dapat digunakan untuk mengisi kuesioner atau formulir (nama, pekerjaan, umur, dll). Saya tidak hadir bagi orang lain dan saya menutup diri serta tidak peduli terhadap kehadiran yang ia tawarkan kepada saya. Tetapi, menghadapi orang lain dengan cara ini—bukan sebagai orang lain tapi sebagai sebuah contoh atau kasus mengenai fungsi-fungsi, peran, atau karakteristik tertentu—diri saya berhenti menjadi seseorang, tetapi masih memainkan peran saya, bagaikan sebuah pulpen yang merekam elemen-elemen beragam ke permukaan formulir tersebut. Orang lain manapun dapat berhadapan dengan orang lain dengan cara yang tidak personal (impersonal) seperti ini. Apabila ini permasalahannya, saya sendiri telah menjadi sesuatu yang dapat saling dirubah, dapat digantikan. Saya tidak lagi menghadapinya dalam persekutuan yang sangat khas antara kami dua orang. Pandangan fungsional ini mengenai orang lain dan, pada akhirnya, mengenai diri (the self), adalah akibat langsung dari “hantu abstraksi.” Saat orang lain ditemui sebagai sebuah kasus yang umum, sayalah yang menghadapi diri saya sendiri sebagai sebuah kasus umum dalam pertemuan tersebut.
Sebagai perbandingan, “karakteristik suatu jiwa yang ada dan karakteristik terhadap pembuangan orang lain adalah sesuatu yang tidak dapat saya pikirkan dalam pengertian kasus; di dalam pandangannya (karakteristik) tidak ada kasus sama sekali” (Marcel 1995, hlm 41). Orang yang disponible, yang tersedia dan dan dapat dibuan untuk orang lain, memiliki pengalaman yang berbeda pada tempatnya di dunia: ia mengetahui interdependensi-nya (interdependence: saling bergantung) dengan orang lain. Hubungan-hubungan disponible dicirikan oleh kehadiran dan komunikasi antara orang-orang sebagai orang lain, sebagai kebebasan—sebuah komunikasi dan persekutuan antara orang-orang yang mengatasi pemisahan mereka tanpa bersatu menjadi satu kesatuan, yang berarti masih ada permisahan di beberapa tingkat. “Harusnya bisa disadari dengan cepat bahwa perwujudan sejenis ini tidak sepenuhnya otonom, tidak ada dalam ekspresi Bahasa Inggris, self-contained; sebaliknya perwujudan seperti itu terbuka dan dapat tersingkap, yang sama sekali tidak serupa dengan kemasan kompak kumpulan massa yang tidak dapat ditembus” (Marcel 1951a, hlm. 145). Agar dapat disponible terhadap orang lain adalah dengan kehadiran untuk dan karena dia, untuk menempatkan sumberdaya seseorang pada disposalnya, dan terbuka padanya serta dapat ditembus olehnya.
Mungkin akan lebih jelas apabila saya menyampaikan bahwa orang yang yang berada dalam disposal saya adalah orang yang mampu berada dengan saya dengan lengkap ketikas saya sedang membutuhkannya; sementara orang yang tidak berada dalam disposal saya sepertinya hanya menawarkan saya pinjaman sementara dari sumberdayanya semata. Untuk seseorang saya adalah sebuah kehadiran; untuk orang lain saya adalah sebuah obyek, (Marcel 1995, hlm. 40)
10. “With” (avec)
Maka, ketika saya menemui obyek dengan cara yang teknis dan mengobyekkan, pertemuan bersama orang lan tersebut memberikan kemungkinan unik lainnya. Saya dapat berhubungan ‘bersama’ orang lain.
Ketika saya menempatkan meja disebelah kursi, says tidak membuat perbedaan terhadap mejanya ataupun kursinya, dan saya dapat mengambil salah satunya tanpa memberikan pengaruh apa-apa; tetapi hubungan saya bersamamu, berpengaruh baik padamu dan padaku, dan juga gangguan-gangguan terhadap hubungan membuat perubahan. (Marcel 1951a, hlm. 181). Apabila indisponibilité digambarkan dengan contoh kebanggaan,
Kata “bersama,” diambil beserta seluruh pengertian metafisiknya, tidak sesuai baik antara hubungan pemisahan dan pengucilan, dan juga hubungan persatuan dan ketidaksatuan. “bersama” menyiratkan intisari dari coesse yang asli seperrti pluralism, dari perpisahannya dengan persekutuan. (Marcel 1995, hlm. 39). Apabila indisponibilité digambarkan dengan kebanggaan, disponibilité digambarkan dalam hubungan kasih sayang, harapan, dan kesetiaan.
Berlawanan dengan Kant, ia tidak menghindar untuk mendeklarasikan partisipasinya dalam hubungannya “bersama” orang lain yang memiliki elemen afektif yang signifikan. Bukanlah pengetahuan mengenai orang lain yang mengawali ikatan kita dengan orang lain—meskipun kita memang harus berkembang untuk mengetahui sesuatu mengenai orang lain—tetapi “persaudaraan”, pengertian bahwa orang lain dikepung kebagagiaan dan kesedihan yang umum pada keluarga manusia. Itulah yang memungkinkan kita, saat melihat kemalangan orang lain berkata, “ Tenang, semuanya akan baik-baik saja.“ Untuk menghampiri seseorang atau membantu orang lain dikarenakan perasaan ‘sebuah tugas’ – orang yang disponible tidak keberatan untuk mengatakan bahwa ia benar-benar menginginkan apa yang terbaik untuk orang lain dan juga sungguh-sungguh ingin berbagi sesuatu dengan orang lain (Marcel 1964, 154). Bahkan, karena disponibilité adalah cara filsafat satu-satunya untuk menjelaskan apa yang kita maksdu mengenai cinta dan kepercayaan, disponibilité tidak dapat berdiri tanpa adanya elemen afeksi ini.
11. Reciprocity
Seperti yang dijelaskan dalam penekanan pada “bersama” dan ditunjukkan dalam deskripsi indisponibilité, tidaklah cukup untuk seseorang menjadi disponible agar seluruh persekutuan disponibilité bisa terjadi. Adalah mungkin bagi seseorang untuk berhadapan dalam tata cara yang benar-benar terbuka dan tersedia (available), hanya untuk ditolak mentah-mentah oleh ketidaktersediaan orang lain yang total. Idealnya, suatu hubungan ketersediaan harus mengandung elemen pengulangan (reciprocity). Bagaimanapun, fakta bahwa pengulangan diperlukan dalam hubungan antar subyek tidak berarti pengulangan harus dituntut dalam hubungan semacam itu. Disponibilité tidak memaksakan haknya atau mengklaim orang lain apapun itu. Disponibilité beranalogi dengan situasi mengenai “sebuah keberadaan yang menanti hadiah atau bantuan dari keberadaan yang lain tetapi hanya di dasar kebebasannya, maka ialah orang pertama yng memprotes bahwa bantuan yang ia butuhkan adalah sebuah berkah, yang menyatakan kebalikan dari sebuah keharusan.” (Marcel 1962a, hlm. 55. Namun, fakta bahwa disponibilité tidak menuntut pengulangan dan fakta bahwa beberapa jenis hubungan memang memungkinkan untuk dijalanni tanpa pengulangan, tidak mengurangi fakta bahwa pengulangan seperti itu harus ada agar hubungan tersebut bisa benar-benar berkembang. “Seseorang bisa saja mengatakan bahwa ada sebuah hirarki keputusan, atau mungkin permohonan, yang berjarak antara panggilan satu-sama lain yang bagaikan membunyikan bel untuk memanggil seorang pelayan yang sampai cukup jenis panggilan lain yang terdengar seperti sebuah doa” (Marcel 1951a, hlm. 179).
Marcel mengelompokkan disponibilité sebagai kasih sayang yang dibatasi dengan kehadiran, sebagai sebuah pemberian milik diri sendiri. Maka dari itu, pada batas ekstrim, disponibilité akan disusun pada sebuah kasih sayang total yang akan menjadi kasih sayang yang tulus, rasa cinta tak bersyarat dan disability. Tetapi, sebuah masalah timbul disini, seperti yang ditekankan Marcel pada elemen efektid dalam disponibilité. Bagaimanakan suatu pemberian milik diri, memungkinkan orang-orang (keberadaan sementara) yang merupakan pengganti waktu, dapat merubah perasaan atau opini orang lain?
12. Pandangan, Pendirian, dan Kepercayaan
Marcel menarik perbedaan yang tajam antara pandangan dan kepercayaan. Pandangan selalu berhububungan dengan apa yang tidak kita tahu, yang kita tidak terlalu mengenalnya. Pandangan ada dalam sebuah tembat antara anggapan (impression) dan penegasan (affirmation). Seringkali kasusnya adalah pandangan yang memiliki dasar yang “keliru,” yang paling jelas terlihat pada pelabelan (stereotype) dan prasangka (prejudice). Lagipula, pandangan bersifat “eksternal” terhadap hal-hal yang mereka maksudkan tanpa terkecuali. Saya memiliki pandangan mengenai sesuatu hanya ketika saya memisahkan diri saya darinya dan mempertahankannya dalam batas “rentangan tangan”. Namun, kita mempertahankannya anggapan-anggapan ini di hadapan orang lain, dan diberikan dasar-dasar pandangan yang sukar untuk ditangkap, adalah hal yang mudah untuk melihat bagaimana sebuah pandangan perlahan berubah dari sebuah anggapan yang kita harus mengklaim pandangan yang telah kita buat. Perubahan ini terjadi tanpa terkecuali sebagai bagian dari “ketidakhadiran cerminan” pada subyek yang ada dan mempertahankan pandangan sehubungan dengan pengulangan. Pandangan kita seringkali “tidak bisa dirubah” justru karena kurangnya pencerminan yang berkaitan dengan pandangan tersebut.
Sementara pandangan bersifat tidak reflektif dan eksternal, pendirian—yang lebih mirip dengan kepercayaan dibandingkan pandangan—adalah hasil dari pencerminan yang luas dan selalu memperhatikan hal-hal yang sangat dekat dengan seseorang. Sama halnya dengan pandangan yang telah mempertahankan diri mereka menjadi keadaan yang sebenarnya, pendirian bersifat definitif, melampaui perubahan. Namun, ketika saya mengklaim bahwa tidak ada yang dapat merubah pendirian saya, atau menegaskan bahwa kejadian apapun yang akan terjadi—yang terantisipasi dan tidak terantisipasi—tidak akan mengubah pendirian saya. Namun, pada saat saya menyatakan bahwa tidak ada yang bisa merubah pendirian saya, saya juga harus menegaskan bahwa saya telah mengantisipasi semua skenario apapun yang mungkin terjadi dan tidak ada kemungkinan tentang kejadian apapun yang dapat merubah pandangan saya. Kemungkinan pertama adalah mustahil. Kemungkinan kedua berdasar pada sebuah keputusan, keputusan untuk tetap tidak berubah terhadap apapun yang akan terjadi. Tetapi, pada cerminan keputusan seperti ini, terlihat seakan over-confidant (terlalu menjadi sesuatu yang dipercaya) ketika keadaan tersebut diantisipasi di masa datang. Apakah pembenaran yang saya gunakan untuk menegaskan bahwa pendirian dalam saya tidak akan berubah dalam situasi apapun? Dengan melakukan hal tersebut sama dengan menunjukkan bahwa, di masa yang akan datang, saya akan berhenti untuk bercermin pada pendirian saya. Ini terlihat seperti apapun yang dapat saya katakan adalah bahwa pendirian saya adalah sesuatu yang, pada saat ini, saya tidak bisa membayangkan suatu perubahan terhadapnya.
Kepercayaan serupa dengan pendirian; memang benar, tapi bagaimanapun juga, dibedakan oleh obyeknya. Marcel meneankan tempat-tempat dimana penggunaan yang tepat untuk istilah “kepercayaan” diterapkan bukan pada hal-hal “yang” kita percaya, tetapi kepada hal-hal yang “di dalamnya” kita percayai. Percaya bukanlah “percaya bahwa…” tetapi “mempercayai…” ‘Percaya bahwa’ mungkin lebih tepat dikarakterisasikan sebagai sebuah pendirian dibandingkan kepercayaan; namun, untuk ‘mempercayai sesuatu’ memperluas penghargaan pada hal tersebut, untuk meletakkan sesuatu sebagai disposal mengenai apa yang kita percayai. Gagasan mengenai penghargaan diletakkan pada disposal orang lain, adalah salah satu cara untuk menjelaskan tentang disponibilité. “Saya tidak dapat dipisahkan dengan cara apapun dimana saya meletakkan disposal X ini… sebenarnya penghargaan yang saya perluas adalah diri saya sendiri. Saya meminjamkan diri saya kepada X. kita harus memperhatikan bahwa ini pada dasarnya adalah tindakan ‘misterius’” (Marcel 1951a, hlm. 134). Inilah yang membedakan pendirian dengan kepercayaan. Pendirian merujuk kepada X, berdiri untuk X, tetapi tidak mengikat dirinya dengan X. Sewakti saya memiliki sebuah pandangan, saya adalah sebuah kepercayaan—kepercayaan mengubah diri saya di dunia, merubah keberadaan (being) saya. Kita sekarang dapat melihat bagaimana kepercayaan merujuk pada the other (yang lain), bagaimana hubungannya dengan disponibilité: kepercayaan selalu diterapkan untuk “kenyataan personal atau suprapersonal” (Marcel 1951a, hlm. 135). Kepercayaan selalu melibatkan seorang ’Anda’ yang saya hargai—penghargaan yang meletakkan saya pada disposal milik ‘Anda’—maka munculah permasalahan kesetiaan.
13. Creative Fidelity
Diskusi mengenai “creative fidelity” adalah tempat yang sangat baik untuk menemukan unifikasi (penggabungan), atau setidaknya konjungsi (penghubungan), dari banya tema dan gagasan dalam pemikiran Marcel yang tidak sistematis. Desakan ontologis, keberadaan (being), misteri, cerminan sekunder, dan disponibilité, semua hal ini membentuk diskusi mengenai creative fidelity (kesetiaan khayalan), yang pada akhrinya berusaha untuk mengilustrasikan bagaimana kita mengalami kenyataan-kenyataan misterius dalam istilah yang kurang lebih konkrit.
“Permasalahan” tersebut disingkapi oleh kesetiaan sebagai ketetapan. Namun, kesetiaan—suatu kepercayaan dalam seseorang—memerlukan kehadiran sebagai tambahan untuk ketetapan di setiap waktu, dan kehadiran menyatakan secara tidak langsung mengenai sebuah elemen afektif. Ketetapan semata di setiap waktu, tidak mencukupi karena “sebuah pemenuhan obligasi yang berlawanan dengan kata hati (contre-couer) adalah tanpa cinta dan tidak bisa diidentifikasi dengan kesetiaan” (Marcel 1986, xxii). Maka, pertanyaannya sebagai berikut. Bagaimana agar kita setiap saat disponible? Bagaimana kita menjamin kepercayaan kita pada seseorang? Mungkin cara yang terbaik untuk mengalamatkan gagasan rumit ini adalah mengalamatkannya menjadi bagian-bagian tertentu: permasalahan yang disingkapi oleh kesetiaan dan jawaban yang diberikan oleh khayalan/kreatifitas.
Perpanjangan penghargaan kepada orang lain adalah sebuah komitmen, dan tindakan yang saya lakukan sendiri dan meletakkan diri saya sebagai disposal bagi orang lain. Dalam perpanjangan penghargaan kepada orang lain juga berarti memberikan kepercayaan saya padanya, sangat berharap dia terbukti pantas untuk mendapatkan penghargaan yang saya berikan panjangjan padanya. Namun, kita terkadang salah menilai orang lain dengan cara menganggapnya terlalu tinggi, dan terkadang salah menilai akibat memandang remeh. Mengingat bahwa terdapat elemen afektif tentang spontanitas yang ada dalam disponibilité, bagaimana saya dapat menjamin bahwa saya akan tetap setia pada kepercayaan saya yang sekarang, terhadap orang lain? Seperti pertanyaan tentang pendirian selama ini, kesetiaan saya saat ini terhadap orang lain dapat dipertanyakan dalam artian daya tahannya. Meskipun pada saat ini saya merasa bersemangat untuk memperpanjang penghargaan saya, untuk menempatkan saya dalam disposal-nya, bagaimana saya bisa yakin bahwa perasaan ini tidak akan berubah esok hari, bulan depan, atau tahun depan? Terlebih lagi, karena saya telah memberikan diri saya pada orang ini, menempatkan diri saya dalam disposal-nya, ketika dia tidak sesuai dengan harapan saya—harapan harus dipatuhi dalam perpanjangan penghargaan saya kepadanya—saya terluka.
Namun, “kekeliruan” orang lain untuk menyesuaikan diri terhadap harapan-harapan saya bukanlah kesalahan orang lain. Kekecewaan atau luka saya seringkali merupakan akibat dari saya yang menetapkan kualitas yang terbatas dan pasti kepada orang lain atau mendefinisikan dia dalam karakteristik-karakteristik, yang pada kenyataanya, ia tidak miliki. Namun, apakah yang membenarkan saya untuk menentukan karakteristik ini untuknya, dan apakah yang membenarkan saya untuk menilai bahwa ia menginginkannya? Penilaian seperti itu secara drastic melangkahi—atau mungkin habis—batasan disponibilité. Dengan begini, hal tersebut dapat dengan jelas menunjukkan bahwa saya, pada awalnya, terlibat dalam sebuah hubungan karena gagasan saya mengenai orang lain—yang telah terbukti keliru—dibandingkan dengan orang itu sendiri. Ini berarti pertemuan ini bukanlah dengan orang lain, melainkan dengan diri saya sendiri. Apabila saya terluka akibat kesalahan orang lain dalam menyesuaikan diri kepada gagasan yang saya miliki tentangnya, ini tidak menjadi indikasi mengenai kekurangan dalam diri orang lain; ini adalah akibat dari usaha saya yang tidak sesuai untuk mendiktekan dirinya dengan bersikeras bahwa ia menyesuaikan dengan gagasan saya. Saat saya mulai meragukan komitmen saya terhadap orang lain, kerapuhan “kepercayaan saya terhadap X” terhadap keraguan-keraguan ini sangat proposional untuk sisa pandangan saya yang masih ada di dalamnya. (Marcel, 1964a, hlm. 196).
Namun, singkatnya, terdapat kejadian yang tidak terhitung ketika harapan saya untuk orang lain tidak sesuai, saat perpanjangan penghargaan saya untuk orang lain—yang sekarang tidak begitu disposable untuk saya—hanya menghasilkan tuntutan untuk “meminta lebih” oleh orang lain. Situasi seperti itu pastinya menggoda saya untuk kembali mengevaluasi penghargaan yang saya tempatkan sebagai disposal untuk orang lain dan untuk menilai kembali pertanyaan-pertanyaan tentang daya tahan berkenaan dengan elemen afektif mengenai ketersediaan saya untuk orang lain. Maka, sekali lagi, misteri kesetiaan juga suatu pertanyaan mengenai komitmen terhadap waktu.
“Bagaiamana saya dapat mengui jaminan awal yang menjadi dasar dari kesetiaan saya?... ini sepertinya mengarah pada lingkaran setan. Pada prinsipnya, untuk mengamanatkan diri saya, saya harus mengetahui diri saya; tetapi kenyataannya, saya benar-benar tahu diri saya ketika saya telah mengamanatkan diri saya sendiri” (Marcel 1964, hlm. 163). Namun, apa yang terlihat sebagai lingkaran setan dari penglihatan eksternal dialami dari dalam, oleh orang yang disponible, sebagai pendakian dan pertumbuhan. Cerminan sebagai cerminan primer mencoba untuk membuat pengalaman komitmen dapat dimengerti dalam istilah yang umum yang dapat diterapkan pada siapapun, tapi ini hanya akan menumbangkan dan menghancurkan kenyataan komitmen, yang pada intinya personal dan maka, hanya dapat dicapai oleh cerminan sekunder.
Kembali ke pertanyaan mengenai daya tahan terhadap waktu, Marcel menekankan bahwa, apabila terdapat sebuah “kemungkinan” mengenai kesetiaan, ini dikarenakan “disposability” dan khayalan adalah gagasan-gagasan yang berkaitan” (Marcel 1964, hlm. 53)). Untuk menjadi disposable adalah untuk mempercayai orang lain, untuk menempatkan saya dalam disposal untuknya dan untuk menjaga keterbukaan disponibilité. “Kesetiaan khayalan” dibentuk dalam diri kita yang secara aktif terpelihara dalam keadaan terbuka dan dapat ditembus, dalam menghendaki diri kita tetap terbuka terhadap orang lain terhadap pemasukan kehadiran orang lain.
Kenyataan bahwa ketika saya mengamanatkan diri saya, saya mengakui dalam prinsip bahwa komitmen tersebut tidak lagi dipertanyakan. Dan telah jelas bahwa kemauan aktif ini bukan untuk mempertanyakan sesuatu kembali, kecampurtanganan sebagau sebuah elemen pokok dalam penentuan apakah yang akan menjadi permasalahan… kecampurtanganan meminta saya untuk menciptakan modus Vivendi tertentu… dan sebagai bentuk dasar dari kesetiaan khayalan. (Marcel 1964, hlm. 162).
Kesetiaan yang palung jujur dalah khayalan, yang berarti, sebuah kesetiaan yang menciptakan the self agar dapat memenuhi tuntutan kesetiaan, kesetiaan seperti itu mengartikan pergantian “mempercayai…” sebagai sebuah godaan untuk kesetiaan dan melihat mereka dalam pengertian sebuah tes terhadap the self dibandingkan dalam arti pengkhianatan oleh orang lain—apabila kesetiaan gagal, ini adalah kesalahan saya dan bukan orang lain.
Tetapi, ini serta merta menunda pertanyaan mengenai daya tahan terhadap waktu. Dimana seseorang dapat menemukan kekuatan untuk terus menciptakan diri sendiri dan memenuhi tuntutan kesetiaan? Kenyataanya adalah, pada sisi-sisi dari penegasan ontologis—dan kehadiran Harapan—kesetiaan selalu dapat diragukan. Saya dapat selalu mempertanyakan kenyataan dari ikatan yang menghubungkan saya dengan orang lain, selalu mulai meragukan kehadiran seseorang yang saya setia kepadanya, mengganti kehadirannya dengan gagasan yang diri saya ciptakan. Di sisi yang lain, semakin saya disposed terhadap penegasan ontologis, terhadap penegasan Being, semakin saya berkembang untuk melihat kekeliruan mengenai kesetiaan sebagai kesalahan saya, hasil dari ketidakterpenuhan saya dibandingkan ketidakterpenuhan orang lain.
Karenanya, dasar dari kesetiaan yang diperlukan sepertinya berbahaya untuk kita segera setelah kita mengamanatkan diri kita kepada orang lain yang kita tidak kenal, sepertinya di sisi lain tidak dapat dibantah ketika tidak (yakin) didasari pada sebuah pemahaman berbeda mengenai Tuhan sebagai hal lain, tetapi pada pemunculan tertentu menyampaikan kedalaman ketidakterpenuhan summam altitudinem saya… pemunculan ini mensyaratkan sebuah kerendahan hati yang radikal dalam subyek tersebut. (Marcel 1964, hlm. 167)
Jadi, kesetiaan khayalan pasti bersinggungan dengan harapan. Cara satu-satunya dimana sebuah komitmen tanpa batas pada sebagian dari subyek dapat terpikirkan adalah apabila ia menarik kekuatan dari sesuatu lebih dari kemampuannya, dari sebuah pemunculan hingga sesuatu yang lebih besar, sesuatu tang transenden—dan penampakan ini disebut harapan. Dapatkah harapan memberi kita dasar yang memungkinkan manusia—yang bersatu secara radikal, seringkali cacat, dan pada umumnya lemah—menciptakan sebuah komitmen yang tanpa syarat? Marcel mengetahui, “Mungkin harus lebih lanjut dijelaskan bahwa nyatanya kesetiaan tidak akan bisa menjadi tanpa syarat, kecuali Keimanan, tetapi kita harus menambahkan, bagaimanapun juga, bahwa kesetiaan itu diharapkan untuk ketidakbersyaratan” (Marcel 1964a, hlm 133).